Adikku Sayang, Adikku Nikmat

cerita seks indo

”Kamu tahu nggak, Yon.. kalau kamu sebenarnya bukan anak tunggal”, kata ibuku ketika kami sedang makan siang bersama bapak baruku (ibuku baru sebulan lalu menikah lagi). Terkejut juga aku mendengarnya. Hampir tak percaya.
-”Kenapa baru sekarang ibu memberitahu saya?”, tanyaku. Waktu itu aku berusia 22 tahun.
-”Ya, karena ibu baru ingat saja. Kebetulan hari ini hari ulang tahunmu. Jadi, ibu akan bilang kalau di dalam sebuah keluarga, tidak boleh ada kakak beradik laki-laki dan perempuan yang memiliki tanggal dan bulan kelahiran yang sama. Harus dipisah. Kamu lahir 17 Juni, sedangkan adikmu juga 17 Juni. Cuma beda tahunnya. Bahkan saudara kembar laki-laki dan perempuanpun harus dipisah”
-”Lho, apa alasannya?”, aku heran.
-”Ya, itu cuma kepercayaan. Terserah, percaya atau tidak itu hak setiap orang. Kalau kamu dan adikmu tinggal serumah, akan berakibat yang tidak baik. Akan tertimpa sial terus..”, ibu menjelaskan.
-”Ha.. ha.. ha.. sudah era komputer begini ibu masih percaya begituan! Kapan bangsa Indonesia bisa maju kalau masih percaya ilmu gitu-gituan..”, mendadak aku tertawa.
-”Terserah..”, ibu pasrah.


-”Lho, memang sekarang di mana dia”, aku ingin tahu.
-”Lho, apa Tante Yohanna tidak cerita kalau yang studi di Kanada itu adik kandungmu?”, ibuku bertanya sambil makan buah semangka.
Dari cerita ibu, aku tahu adik kandungku bernama Ratna Kemalasari. Sewaktu aku ke rumah Tante Yohanna beberapa waktu yang lalu, Tante nggak pernah mengatakan hal ini. Entahlah, mungkin lupa, atau barangkali ada yang ditutup-tutupi.

Selesai makan, tiba-tiba telepon berdering. Segera kusambar. O, ternyata dari Tante Yohanna. Dia bilang, hari Minggu nanti Ratna akan pulang dari Kanada, sedangkan Dewi (anak kandung Tante) masih berada di Swiss.

Karena Tante berada di kota Yogya, dia minta tolong ke saya agar aku menjemput Ratna di Bandara Soekarno-Hatta. Wah, repot juga, aku belum pernah melihat rupanya Ratna. Gila.. gimana nih?

Akhirnya aku tanya Tante, apakah Ratna punya nomor fax di Kanada. Syukurlah, berdasarkan nomor fax itu aku minta Ratna kirim fotonya dan sekaligus minta informasi tentang nama pesawat, memakai baju warna apa, dan ciri-ciri khas lainnya.

Ketika kuamati foto adikku, wah.. lumayan. Tidak terlalu cantik, tapi juga tidak terlalu jelek. Ya.. mirip Nia Daniati-lah! Cantik adikku sedikit!

Akhirnya aku telepon ke Tante bahwa aku sudah dapat foto Ratna via fax dan akan menjemput Ratna di Bandara beberapa hari lagi.

Akhirnya aku berangkat ke Jakarta. Ibu tidak ikut sebab lebih suka tinggal di rumah, di Bandung. Sebelum ke Bandara aku ke rumah pemberian ibuku di Jl. Magonda Raya, Depok. Rumah yang mungil tapi punya halaman luas dan di depannya ada pohon jambu yang sedang berbuah lebat.

Esok harinya aku ke Bandara. Menit demi menit aku menunggu, akhirnya pesawat yang kutunggu akhirnya tiba.
Mataku tajam menatap semua penumpang satu persatu. Aku mencari seorang gadis dengan ciri-ciri: mengenakan baju warna cream, wajah mirip Nia Daniati, dan di tangan kirinya memegang tustel/kamera. Ketika pada antrian terakhir, gadis yang mempunyai ciri-ciri itu berhasil kutemukan.

-”Ratna..”, suaraku kuarahkan padanya. Dia menoleh..
-”Eh.., Mas Yono ya?”. Aku mengangguk.
Dia berlari kecil. Dijabatnya tanganku. Akupun mencium pipi kiri dan pipi kanannya. Biasa, nggak apa-apa khan? Dalam hati aku kagum, ternyata Ratna lebih cantik dibanding Nia Daniati. Umurnya waktu itu 20 tahun, sedang aku 22 tahun. Selisih dua tahun.
-”Aduuh, nggak nyangka ya, adikku cantik sekali..”, pujiku.
Ratna cuma tersenyum sambil menarik kopor kecil yang ada rodanya.

Akhinya aku dan Ratna menuju ke Depok dengan mengendarai mobil pemberian bapak baruku. Sebenarnya sih, aku ingin mengantarkan Ratna langsung ke ibuku di Bandung dan setelah itu ke Tante Yohanna di Yogya.
-”Gila apa! Masih capek begini..”, adikku menolak langsung ke Bandung.

Akhirnya Ratna beristirahat dulu di rumahku di Depok. Langsung mandi dan setelah itu makan siang di salah satu restoran di Jl. Magonda Raya. Banyak sekali cerita Ratna selama dia di Kanada, mulai dari soal studi, obyek-obyek wisata dan ngobrol apa saja.

Di rumah Depok tidak ada siapa-siapa. Pembantu tidak punya, apalagi waktu itu aku masih bujangan. Kalau butuh makan ya beli. Apalagi Ratna nggak bisa masak. Jaman sekarang memang begitu, banyak gadis cantik, tapi nggak bisa memasak.

Rumah di Depok itu memang kecil. Hanya ada dua kamar tidur. Karena Ratna penakut, akhirnya malam harinya tidur di kamar tidurku. Nggak apa-apa khan? Toh Ratna adikku.

Malam pertama ini nggak ada kejadian apa-apa. Barangkali Ratna masih capek, dia langsung tertidur dengan lelapnya. Aku cuma bisa melotot saja melihat kimononya tersingkap sehingga pahanya yang mulus kelihatan. Walaupun Ratna adik kandungku, diam-diam aku mengangumi keindahan tubuhnya. Nggak apa-apa, khan?

Sebenarnya hari itu aku akan ke Bandung dengan Ratna, tapi Ratna menolak karena masih ingin menikmati kota Jakarta. Adikku masih berada di kamarnya, duduk di depan meja rias sementara aku berdiri di pintu kamarnya.

-”Masuk, Mas.. Kayak rumah orang lain aja!”, katanya sambil terus memoles bibirnya dengan lipstik. Matanya terus memandang kaca di depannya sambil duduk di kursi kecil.
Akupun masuk berdiri di belakangnya.
-”Mas, kebetulan nih, saya mau minta tolong..”, pintanya.
-”Minta tolong apa lagi?”
-”Ini nih, tolong ditarik ke atas..”, sambil menunjuk restluiting belakang gaunnya.
-”Manja..”, Meskipun demikian permintaannya kupenuhi. Kutarik pelan-pelan restluitingnya, ke atas sedikit demi sedikit sehingga punggungnya yang putih mulus tertutup.

Entah setan mana, tiba-tiba aku punya niat buruk terhadap adikku. Dari belakang, kucium pipi kiri adikku. Diam saja. Kemudian yang kanan. Diam saja. Adikku masih tetap memoles bibirnya dengan lipstick warna merah jambu.

Beberapa detik kemudian kucium leher belakangnya.
-”Ah, geli Mas..”, Ratna menggelinjang.
Walaupun kami berdua saling menyadari sebagai kakak beradik kandung, namun barangkali karena sejak kecil tak pernah bertemu, maka pertemuan itu memang rasanya lain, seolah-olah kami bukan sesaudara.
-”Boleh nyicipin lipsticknya yang di bibir?”, godaku.
-”Coba, nih..”, goda adikku sambil menunjuk bibirya. Bikin aku penasaran. Akupun mencoba menciumnya, tapi adikku mengelak. Ternyata dia cuma main-main.
-”Mas, jangan genit ah..”, Ratna bangkit berdiri dan melepaskan pelukanku dan berlari-lari kecil ke kamar tamu.
-”Kamu yang genit..”, akupun mengikutinya. Kulihat adikku tertawa kecil.
-”Coba cium saya kalau bisa”, tantangnya. Membuat aku benar-benar penasaran. Secepat kilat tangan Ratna kupegang, kupeluk erat-erat, kemudian kuangkat tubuhnya dan kubaringkan di kursi tamu yang panjang itu.
-”Kalau bisa cium, nanti kukasih hadiah seratus juta rupiah..”, ujarnya sambil tertawa kecil. Memang, semula niat kami memang cuma bercanda saja. Namun melihat Ratna tubuhnya terlentang dalam kondisi yang pasrah, maka akupun berhasil menaklukkannya. Kutindih tubuhnya, kemudian kucium lagi pipi kiri-kananya. Setelah itu, dengan susah payah, akhirnya Ratna berhasil kucium.

Kalau semula Ratna banyak tingkahnya, begitu kucium, dia tiba-tiba menjadi diam. Akhirnya dengan leluasa aku mencium bibir Ratna bukan sebagai seorang kakak ke adiknya, tetapi seakan-akan terhadap kekasih. Lama kelamaan, Ratna pun mulai membalas ciumanku. Kami saling berpandangan penuh arti. Ada rasa aneh di antara kami berdua. Rasa yang indah.

Kulihat nafas Ratna agak cepat. Nafaskupun demikian. Puas mencium bibirnya, aku cium lehernya, lantas kubelai-belai rambutnya yang pendek itu dengan penuh rasa kasih sayang. Aku mulai terangsang.

Pelan, kuangkat tubuh adikku. Dia diam saja. Lantas kubawa ke kamar tidurnya yang berbau harum itu. Kuletakkan di tempat tidurnya. Kembali aku merebahkan tubuhku di sampingnya. Kucium lagi, Ratna membalasnya dengan penuh gairah. Nafsuku semakin menderu. Darahku semakin bergejolak.

Sambil mencium, tangan kananku mengelus-elus pahanya. Ratna menggeliat. Tanganku semakin binal, terus keatas, keatas, keatas.. agak gemetar sedikit tanganku. Pelan.. kutarik kebawah celana dalamnya. Nggak bisa, soalnya Ratna memakai celana dalam full body, yang bentuknya seperti pakaian renang.

Terpaksa, tangan kananku beralih ke belakang punggungnya. Kutarik restluitingnya ke bawah.. kebawah.. kebawah.. Sedikit demi sedikit gaunnya kutarik kebawah. Dengan susah payah akhirnya berhasil kulepas. Tahap berikutnya, membuka BH dan celana dalamnya.Tidak semudah yang Anda sangka, karena berkali-kali Ratna memasang lagi. Namun aku tak menyerah.

-”Nggak diapa-apain, kok..”, aku meyakinkan.
-”Nggak mau ah..”, ujarnya sambil memasang lagi BH-nya.
Kalau yang begini-beginian sih, aku sudah hafal betul. Ratna sebenarnya ingin.. tapi masih diliputi rasa malu, takut, canggung atau rasa-rasa lainnya. Kalau sudah begini, laki-laki harus pandai memberikan rangsangan dan meyakinkan.

Begitulah,.. sesudah bersusah payah, akhirnya Ratna berhasil kulucuti sehingga tidak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuhnya. Demikian pula, aku sudah dalam kondisi bugil. Burungku tegak berdiri dengan kerasnya.

Kami berdua saling berpelukan dan masih cium sana cium sini. Buah dada adikku masih rata.Meskipun demian tak mengurangi nafsuku. Kugigit kecil payudaranya. Dia melenguh. Matanya memejam.

Kujilati perutnya, lantas kucium sekitar kemaluannya.Kuremas-remas bulu-bulu kemaluannya yang hitam halus itu. Kulihat Ratna mulai terangsang. Sebentar-sebentar dari mulutnya keluar ssh.. ssh.. sshh.. pertanda kalau dia mulai berkobar nafsunya.

Sekitar satu dua menit kemudian, aku mengambil posisi di atas tubuhnya. Sambil terus meremas-remas tubuh Ratna, ujung burungku mulai kumasukkan ke lubang kemaluan Ratna.

Kulihat Ratna meringis, seolah-olah menahan rasa sakit. Kucium pipinya dan kubisikkan bahwa apa yang akan terjadi tidak akan sakit.
-”Aku belum pernah, Mas”, bisiknya.
-”Tahan dikit.. sakitnya sedikit..”
Begitulah.. burungku mulai masuk.. 25%.. 50%.. 75%.. akhirnya 100%. Ratna memelukku kuat-kuat. Ternyata benar, Ratna ternyata masih perawan. Beberapa tetes darah merah membasahi sprei. Kulihat Ratna menangis. Namun aku tetap menggoyang-goyangkan burungku pelan-pelan.

Sekitar tujuh menit kemudian.. spermaku pun mulai menyemprot keras. Kupeluk tubuh adikku keras-keras. Crut.. crut.. crut.. crut.. Setelah itu aku merebahkan tubuhku di samping tubuh Ratna.
-”Maafkan aku, Ratna..”, kataku.
-”Nggak apa-apa, Mas..”, jawab Ratna polos.

Ratna mengaku, selama di Kanada tidak pernah pacaran, walaupun pergaulan di sana cukup bebas! Masalahnya, dia tidak suka dengan bule. Entah apa alasannya, Ratna tidak menjelaskan. Di Kanada, katanya, memang banyak yang naksir, tetapi nggak ada yang cocok. Bahkan dengan mahasiswa Indonesia yang berada di sana diapun tak suka.

Yang agak mengejutkan,.. Ratna sering melakukan hubungan seks..d engan rekan sejenisnya! Wow.. aku terasa tersambar petir!
-”Jadi, kamu lesbi..?”, aku ingin tahu.
-”Mungkin itu istilahnya. Tapi, itu saya lakukan semata-mata karena aku takut hamil jika kulakukan dengan pria. Jalan keluarnya, aku melakukannya dengan teman sejenis”
-”Bisa orgasme?”
-”Yaah.. begitulah! Kepulanganku ke Indonesia ini ingin menjadi gadis yang wajar-wajar saja..”
-”Maksudmu..?”, tanyaku sambil mengelus-elus pahanya.
-”Ya,.. aku nggak mau melakukannya dengan sesama jenis lagi. Aku ingin menjadi gadis yang normal, seperti wanita-wanita lainnya..”
-”Dengan saya tadi, kamu tidak orgasme, bukan?”, kupandang mata Ratna. Ratna menggeleng.
-”Belum,.. mungkin butuh waktu..”
Sesudah cerita kesana-kemari, akhirnya Ratna menuju ke kamar mandi dan kubantu mengantarkannya. Maklum, Ratna baru saja keperawanannya kurenggut. Masih ada rasa sakit di kemaluannya.

Malam harinya, seusai nonton TV, kami berdua segera menuju ke kamar tidur. Malam itu tak ada rasa canggung.
-”Mas.. jangan marah ya. Malam ini saya ingin merasakan orgasme dengan pria.. Nggak keberatan, khan?”
Aku tak menjawab, tapi langsung aku membuka baju, BH, rok dan celana dalam Ratna. Lantas kurebahkan di tempat tidur. Lagi-lagi kami berdua sudah dalam keadaan tanpa sehelai benangpun.

Kalau Ratna bicaranya blak-blakan, bisa kumaklumi karena dia pernah tinggal di luar negeri yang serba terbuka. Nggak seperti sebagian gadis Indonesia yang serba malu-malu (Iya khan? Aku belum pernah mendengar gadis Indonesia bilang begini: “Mas, tadi saya belum orgasme”. Kalau ditanya cuma senyum-senyum melulu. Iya, khan?).

Malam itupun aku berusaha memenuhi keinginan Ratna. Dengan posisi di atas, aku mulai lagi menggeluti Ratna. Rupa-rupanya Ratna suka permainan yang lembut. Akupun mengikuti irama ini. Pelan-pelan kumainkan burungku, kutarik.. kumasukkan.., kutarik.., kumasukkan.

Untuk selingannya kucium seluruh tubuh Ratna, perutnya, pahanya, punggungnya. Tubuhnya memang indah sekali. Putih, langsing.. cuma sayang payudaranya rata. Nggak apa-apa..

Kugigit pelan telinga kirinya. Dia menggelinjang. Kumasukkan lagi burungku. Kugoyang pantatku ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah..
Keringat kami berdua mulai mengalir. Cukup lama kami bermain.
Beberapa saat kemudian:
-”Mas.. Mas.. Mas..”, katanya sambil menggelinjang ke kanan ke kiri. Aku tahu, Ratna hampir mencapai titik klimaks. Akupun mempercepat gerakan.. akhirnya.. kami berdua secara bersamaan bisa mengalami orgasme. Kami berdua saling berpelukan kuat sekali. Denyut-denyut kenikmatan kami rasakan. Spermaku muncrat dengan bebasnya ke kemaluan Ratna. Dalam posisi masih berpelukan, kuubah posisi, kutarik tubuh Ratna sehingga berada di atas tubuhku dan aku berada di bawahnya. Kuangkat lututku. Kugoyang-goyang pantatku ke atas ke bawah..

Sesudah itu, kami berdua berpelukan di bawah satu selimut.Capai bercumbu, kami berdua tertidur lelap sampai pagi hari.

-”Mas, Yuk mandi sama-sama..”, ajak Ratna. Kami berduapun mandi bersama-sama, saling menyiram, saling menyabun, sesekali sambil berciuman. Walaupun burungku dalam kondisi tegang, namun tidak ada acara khusus, meskipun Ratna memintanya.

-”Nanti sore saja Ratna. Harus ada jarak waktu..”, ujarku sambil mengeringkan tubuh Ratna dengan handuk berwarna kuning.

Sayang, ibuku dari Bandung sudah menelepon supaya hari itu juga aku mengantarkan Ratna ke Bandung karena ibuku sudah rindu sekali. Apa boleh buat, sesudah makan pagi, dengan kereta apa Parahiyangan kami menuju ke Bandung.

Ibuku menyambut kedatangan Ratna dengan penuh isak tangis karena gembira. Ratnapun demikian. Maklum, sudah belasan tahun tidak pernah bertemu. Aku cuma bisa diam membisu.

Esok harinya Ratna minta ijin untuk jalan-jalan denganku melihat-lihat kota Bandung yang sudah lama tidak pernah dilihatnya. Ibu mengiyakan tanpa rasa curiga sedikitpun.

Padahal, siang itu aku dan Ratna menyewa sebuah kamar di salah satu hotel yang cukup mewah. Di situlah, aku kembali menggeluti Ratna. Ternyata, siang itu Ratna bisa merasakan orgasme sampai dua kali. Katanya, betapa indahnya hubungan seks yang normal. Dulu, dia bisa orgasme dengan sesama teman wanitanya, namun orgasme dengan pria sejati ternyata jauh lebih nikmat!

Esok harinya dengan menumpang kereta api, aku mengantarkan Ratna ke ibu angkatnya, yaitu Tante Yohanna yang berada di kota Yogya. Dasar kami sedang gila, sampai di Yogya bukan langsung ke rumah Tante, tetapi cari kamar lagi di hotel dan kami berdua kembali bergumul. Kali ini kami berdua melakukannya di kamar mandi, sambil berdiri, sambil menyemprotkan air hangat dari shower. Sambil saling menyabun tubuh.

O, alangkah nikmatnya bersentuhan dengan tubuh dalam keadaan penuh air sabun. Rasanya benar-benar nikmat.

Esok harinya aku mengantarkan Ratna ke Tante Yohanna. Tidak ada rasa curiga sedikitpun di raut wajah Tante. Biasa-biasa saja.

Satu bulan kemudian, aku bagaikan tersambar petir ketika menerima fax dari Yogya, dari Ratna, yang mengatakan bahwa Ratna hamil. Inilah kebodohanku! Selama ini jika aku berhubungan seks, aku selalu menggunakan kondom. Tetapi dengan Ratna samasekali tidak pernah. Benar-benar aku bingung! Bodoh sekali aku!

Akhirnya aku interlokal ke Yogya, saya mohon Ratna ke Jakarta dengan alasan mau kerja di Jakarta. Begitulah, akhirnya Ratna ke Jakarta.

Tanpa buang-buang waktu, aku membawa Ratna ke salah satu klinik bersalin di Depok. Dengan imbalan Rp 5 juta, akhirnya kandungan Ratna bisa digugurkan. Agak mudah, karena usia kehamilannya baru satu bulan. Seminggu penuh, Ratna beristirahat total hingga kesehatannya kembali pulih.

Sebulan kemudian, Ratna dapat panggilan kerja di salah satu perusahaan konsultan yang berdomisili di Jl. Tebet Raya. Karena kantornya cukup jauh, Ratna mengontrak sebuah pavilyun mungil di kawasan Tebet. Setiap malam Minggu aku ke pavilyunnya dan mengulangi lagi kepuasan demi kepuasan. Ratna merasa berhutang budi kepadaku karena dianggapnya aku berhasil membebaskan Ratna dari dunia lesbianisme. Ratna merasa sebagai manusia normal..

Ya, kepuasan demi kepuasan kami reguk bersama. Batas antara kakak kandung dan adik kandung terasa tidak ada. Maklum, sejak kecil kami memang tak pernah bertemu..