seperti jambu klutuk yang disumpalkan di atas mulutmu. Gigi atasmu
tonggos, terlalu jauh keluar dari bibirmu yang tebal tidak karuan.
Jidatmu menonjol tak proporsional dengan mukamu yang bulat dan gempal.
Kedua matamu belo dan sama sekali tidak sedap dipandang mata.
Pokoknya, nasibmu lah, Tuminah. Buruk muka, dan menjadi babu pula.
Menjadi bagian dari masyarakat yang tercampakkan walau konon sangat
diperlukan. Bekerja keras untuk gaji yang tidak seberapa. Sejak kecil
kau telantar, karena toh kedua orangtuamu juga tak sanggup memberimu
makanan yang cukup.
Untung sajalah kau sekarang bekerja untuk tuan dan nyonya mudamu yang
agak baik hati itu. Tuan Andi dan Nyonya Nita; masing-masing eksekutif
muda yang sedang naik daun. Punya mobil dua, tidak ada anak, rumah
cukup besar, dapur modern. Beruntunglah kau, Tuminah. Coba bandingkan
dengan terakhir kali kau bekerja, di saudagar Tionghoa yang sedang
bangkrut itu. Wah, jauh sekali bedanya.
Tuan Andi gagah tampan. Nyonya Nita cantik menawan. Kamu ...? Ah, kamu
seperti kain dekil yang tersampir selalu di pundakmu. Mereka seperti
sutra halus aneka warna. Kamu seperti gentong berlumut di pojok garasi
itu. Mereka seperti patung marmer buatan Italia.
Pokoknya, nasibmu lah, Tuminah.
Bahkan Bang Miun, tukang sayur yang dulunya tukang ikan itu, tidak
suka melihat wajahmu. Bang Miun lebih suka menggoda dan menjawil-jawil
si Rukiah yang montok di seberang jalan itu. Atau mencubit-cubit
pantat Inem yang memang bahenol itu. Bahkan sampai berebut dengan si
Rohmat, supir tua yang matakeranjang itu.
Tidak ada yang mau menggodamu, Tuminah. Kamu jelek dan tak menarik
sama sekali. Mukamu itu, lah. Terlalu cepat menggugurkan selera
laki-laki.
Padahal badanmu bagus belaka. Sebagai wanita, yang sedang tumbuh
dewasa, dan bekerja membanting tulang, maka tubuhmu terbentuk bagus
seperti Nyonya Nita yang menghabiskan jutaan rupiah untuk ikut
fitness. Dadamu kencang, karena memang gerakan-gerakan menyapu atau
mencuci membuat otot-otot di sana selalu terlatih. Pinggulmu berisi,
dan perutmu tak gembung seperti gadis-gadis manja yang kebanyakan
makan hamburger itu.
Tetapi kamu juga, sih! Pakaianmu selalu kedodoran, butut dan
kehilangan warna aslinya. Tentu saja. Mana sanggup kamu beli pakaian
seperti Ditha, adik wanita Nyonya Nita yang kuliah di perbankan itu.
Beli jeans ketat? Atau kaos yang kependekan untuk memperlihatkan
pusarmu? Jangan mimpi, lah, Tuminah.
Nasibmu lah, Tuminah.
Padahal sebagai manusia biasa kamu punya hasrat juga. Sudah kamu
lewati masa pubertas dan menstruasimu teratur rapi. Ingin juga
sekali-kali kamu punya pacar, bukan? Ingin berjalan-jalan seperti si
Tinah yang katanya pacaran dengan kepala satpam kelurahan itu. Ingin
joget dang-dut seperti teman-temanmu yang bekerja di pabrik panci
dekat-dekat sini, bersama buruh-buruh pria yang kekar walau kerempeng
itu.
Tetapi siapa yang mau mengajakmu, Tuminah. Tidak ada. Belum apa-apa
orang sudah melengoskan mukanya. Jadi, janganlah bermimpi tentang
malam minggu yang romantis.
Duduk saja kamu di depan televisi, menonton sinetron yang bintangnya
cantik tampan belaka. Bahkan para babu di sinetron itu tidak ada yang
sejelek kamu, Tuminah. Bahkan ada yang sangat seksi sehingga tuannya
kepincut, lalu nyonyanya mengamuk. Kamu tak mungkin dilirik sekalipun
oleh Tuan Andi. Aman-aman sajalah kamu di sini. Nyonyamu pun sangat
sayang kepadamu.
Duduk saja di depan televisi, malam-malam seperti ini, setelah rumah
beres dan piring sisa hidangan malam sudah kering.
Dan tuan nyonyamu di dalam kamar bergelut. Kamu mendengar samar-samar
ranjang berderit, dan nyonyamu mengerang-erang. Itulah yang bisa kau
lakukan, Tuminah, di malam minggu seperti ini. Mendengar jerit-jerit
kecil nyonyamu, dan geraman tuanmu di penghujung kejadian. Lalu
besoknya mencuci seprai yang di sana-sini ada bercak kering putih.
Masuk saja ke kamarmu setelah televisi kehabisan acara.
Duduk di dipanmu yang tak terlalu lebar. Terlentang belum bisa tidur
karena kamu punya hasrat juga. Berguling-guling gelisah karena kamu
mengenang adegan di suatu siang hari libur. Tuan nyonyamu bersebadan
di kamar tamu menyangka kamu masih di pasar. Terkenang kamu melihat
adegan yang begitu menggebu-gebu dan alamiah dan ..... kamu ingat juga
adegan sapi bersebadan di kampung. Kamu ingat kambing adikmu di
kampung disetubuhi oleh jantannya dari belakang.
Tuan Andi juga suka main dari belakang.
Kamu tidak bisa tidur. Lalu belajar meraba-raba tubuhmu sendiri.
Meremas-remas tetekmu sendiri. Mengelus-elus pahamu sendiri.
Menyelip-nyelipkan jarimu sendiri. Kamu suka begitu, Tuminah, walau
wajahmu yang buruk tak pernah sedikit pun berubah cantik ketika sedang
orgasme. Malah tambah mengerikan.
Kamu bahkan melakukannya di kamar mandi setelah selesai mencuci. Rumah
sepi dan kamu ingin sekali memasukkan sesuatu sambil berjongkok.
Menjerit kecil sendirian karena sakit sedikit, tetapi lalu enaknya
lebih banyak. Kamu masuk-masukkan jarimu, karena pernah kamu lihat
pacar nona Ditha melakukannya di beranda. Kamu melihat terlalu banyak,
Tuminah.
Ah, kamu lakukan semuanya sendirian. Karena wajahmu terlalu jelek
bahkan untuk si Dollah yang dungu itu. Ia membantumu menyabit rumput,
lalu kamu coba-coba memikat dengan menyingkap rokmu pura-pura tak
sengaja. Eh, Dollah malah menendang pantatmu karena sebal.
Nasibmu lah, Tuminah, punya wajah buruk dan hasrat menggebu.
Kamu tak bakal menarik minat lelaki normal, karena semua lelaki suka
memandang keindahan ketika menyebadani wanita. Kecuali kalau lelaki
itu buta ...
Hei, mengapa kamu juga berpikir begitu. Lelaki buta. Tukang pijat
tunanetra. Itulah harapan satu-satunya bagimu, Tuminah.
Pak Kadir ... kamu memintanya datang di suatu siang ketika semua
penghuni rumah sudah pergi. Kamu bilang bahwa tubuhmu pegal minta
dipijat.
Ting-tong! Pak Kadir menekan bel. Kamu tergopoh-gopoh karena keasyikan
merapi-rapikan dirimu di kamar. Bodohnya, kamu Tuminah. Buat apa
memakai bedak dan gincu segala, kalau lelaki yang datang itu buta!
Buat apa memakai daster bekas nyonyamu yang tipis menerawang itu,
kalau lelaki yang mendatangimu itu tak bisa melihat apa-apa.
Ah, kamu cuma ingin berhayal saja sebagai Cinderella sehari ini; pak
Kadir adalah pangeranmu.
"Silakan masuk, Pak Kadir," katamu gugup. "Langsung ke kamar saya
saja. Tuan dan nyonya tidak ada."
Pak Kadir meraba-raba dengan tongkatnya, mengikuti langkahmu yang
terlalu cepat. Nyaris saja guci indah di kamar tamu terterjang langkah
lelaki buta itu. Awas, nanti kamu dimarahi nyonya, Tuminah.
Kamu tidak sabar. Kamu tuntun Pak Kadir ke kamarmu. Lelaki tua itu tak
punya kecurigaan apa-apa. Ia sudah memijat 1000 babu sebelumnya. No
problem. Para babu itu memang memerlukan pijat relaksasi setelah
bekerja seharian. Selama ini langganannya tak pernah mengeluh. Pak
Kadir memang idola para babu yang sedang keletihan.
Tuminah, Tuminah ... kamu cuma bilang minta pijat seperti biasa.
Kenapa kamu buka seluruh bajumu yang tadi kamu patut-patutkan di muka
cermin?
Pak Kadir mulanya biasa saja. Memijat dari sini ke sana, seperti ia
memijat 1000 babu sebelumnya. Tetapi, kamu Tuminah ... kamu yang
mengatakan dengan suara parau, "Pijat di sini, Pak Kadir ...."
"Lho ..lho .. lho!" Pak Kadir heran meraba bukit empuk kenyal halus
mulus.
Kamu, Tuminah .... kamu nakal dan menggelinjang-gelinjang kegelian.
Tidak tertawa, melainkan terengah-engah, dan berkata, "Terus, Pak
Kadir .... terus yang keras ..."
"Lho ... lho ... lho." Pak Kadir terus menyatakan keheranan, tetapi
terus meremas-remas pula. Istrinya yang tidak buta dan tambun itu juga
suka diremas-remas seperti ini.
Kamu memejamkan matamu, Tuminah .... lagakmu seperti bintang di film
video yang kamu putar diam-diam ketika tuan nyonyamu kelupaan
memasukkannya ke lemari. Kamu memang merasa keenakan, Tuminah.
Pak Kadir tak bisa melihat wajahmu yang sama sekali tak sedap
dipandang kalau sedang terangsang seperti itu. Mulutmu terbuka, tetapi
gigimu yang tonggos itu mengganggu pemandangan. Hidungmu tidak bangir,
dan lubangnya yang kempas-kempis itu menyebabkan tampangmu seperti
kerbau saja.
Tentu saja Pak Kadir tak tahu itu. Sehingga kamu beruntung, Tuminah.
Kamu bisa merasakan tangan lelaki menjamah badanmu. Puting-puting
susumu menegang dan kamu merasa sangat-sangat geli. Ingin menjerit,
tetapi kamu masih punya malu juga, Tuminah.
Tuminah ... Tuminah ... kamu makin nakal saja. Kamu singkapkan kedua
pahamu, dan kamu paksa Pak Kadir meraba bagian terlarang (siapa yang
melarang?) yang sudah agak basah itu.
"Nak, Tumi ini mau gituan, toh!?" bisik Pak Kadir, padahal ia tak
perlu berbisik karena tidak ada siapa-siapa di sana.
Tuminah mengangguk. Bodohnya kamu, mana bisa ia melihat kamu
mengangguk.
Pak Kadir juga sebenarnya tak mau tahu jawaban. Ia sudah mengendurkan
sarungnya, dan merangkak ke atas tubuhmu.
"Pijat-pijat dulu, Pak Kadir ...." katamu Tuminah, sambil
terengah-engah.
"Oh, iya .. iya." Pemijat profesionalmu sekarang jadi tampak dungu.
Lalu kamu bawa jari-jarinya menelusup-nelusup. Kamu mengerang,
mencontoh nyonyamu atau bintang film itu? Pak Kadir merasakan
jari-jarinya basah dan lengket. Ia rajin sekali memutar-mutar dan
menyodok-nyodok. Sialan kamu, Tuminah, membuat orang repot dengan
kegairahan-kegairahanmu. Bagaimana kalau nanti istrinya memotong kuku
Pak Kadir dan melihat bekas-bekas kewanitaanmu di situ?
Kamu sekarang sedang menikmati terbang bebas menuju orgasme pertamamu
di tangan lelaki, Tuminah. Hebat kamu, Tuminah. Walau buruk muka,
tidak mau menyerah. Ingin mencapai cita-citamu yang sederhana,
Tuminah.
Pak Kadir sekarang juga terengah-engah. Ia belum pernah bertemu babu
seperti kamu, Tuminah. Sudah 1000 babu, tidak satu pun yang minta
disetubuhi. Ini rupanya hari keberuntungan Pak Kadir. Ia membuka
sarungnya, dan terjadilah persetubuhan yang seperti kamu inginkan,
Tuminah. Masuk lancar, berjalan sesuai rencana.
Ah, tetapi kasihan Pak Kadir. Ia menggelosor setelah baru saja
memasukkan kejantanannya tergesa-gesa.
Kasihan kamu juga, Tuminah.
"Gimana, sih ... Pak!" Kamu memprotes. Pak Kadir nyengir saja salah
tingkah.
Kamu kesal sekali. Membayar dengan uang agak lusuh, kamu suruh lelaki
malang itu pulang karena kamu ingin cepat-cepat membersihkan seprai
yang basah oleh tumpahan birahi.
"Besok saya datang lagi, deh ..." kata Pak Kadir. "Tidak usah dibayar,
deh ..."
Kamu tidak menjawab. Karena memang kamu ingin mencoba lagi. Kamu
mengantar Pak Kadir ke gerbang, dan dia pergi setengah pincang. Dia
sudah cukup renta, memang.
Lalu keesokan harinya kalian mengulangi lagi upaya itu. Kali ini,
lumayan buat kamu Tuminah. Pak Kadir bertahan lima menit sebelum
menggelepar. Dia menyalahkan kamu. Katanya kamu terlalu sempit,
Tuminah. Salahmu lagi, Tuminah. Nasibmu, punya wajah buruk dan
kewanitaan yang sempit. Lelaki tak tahan berlama-lama di sana.
Tidak setiap hari kamu bisa mengulangnya, Tuminah. Besok lusa hari
Minggu, semua penghuni rumah ada untuk makan siang bersama keluarga
besar. Kamu sibuk sekali hari itu, dan lupa pada hasrat gairahmu.
Tetapi hari Rabu, kamu ulangi lagi upayamu. Lebih lumayan lagi kali
ini, Pak Kadir bertahan 10 menit. Kamu untuk pertama kalinya merasakan
enaknya berlama-lama di bawah tubuh lelaki. Memang belum sampai
mengejang-kejang seperti di film-film itu. Belum sampai gatal, bahkan.
Tetapi lumayanlah. Kamu masih terlalu sempit, Tuminah.
Lalu kamu temukan tablet obat kuat di kamar tuan-nyonya. Oh, ini yang
pernah kamu dengar dari pembantu di seberang jalan, tentang tuannya
yang juga suka menelan obat sebelum bersebadan dengan istri keduanya,
atau istri keempatnya, atau gundiknya. Kamu tidak terlalu cepat bisa
membaca, tetapi dengan mengeja kamu bisa tahu nama obat itu. Iya ...
iya ... sama dengan obat yang disebut-sebut
"Pak Kadir, minum ini dulu sebelum main," katamu sambil menyodorkan
satu tablet dan satu gelas.
Gila betul, kamu Tuminah. Pak Kadir menyetubuhimu satu jam penuh! Kamu
pingsan karena keenakan. Sepraimu berantakan. Seluruh kamarmu
berantakan, karena kamu jatuh ke lantai dan bersetubuh di sana seperti
kambing, seperti sapi, seperti ayam. Kakimu yang berotot itu menerjang
rak jemuran di kamarmu; jatuh bergelontangan. Seluruh daerah di
sekitar selangkanganmu rasanya pedih, tetapi kamu tak peduli. Kamu
terlalu keenakan, Tuminah. Sampai penuh keringat tubuhmu. Sampai licin
lantai kamarmu.
Pak Kadir ngos-ngosan lalu rubuh menimpa tubuhmu yang sintal. Kamu
memang sudah pingsan lebih dulu. Kepalamu terasa ringan. Kamu berada
di langit ketujuh, Tuminah. Bukan main!!
Pak Kadir tidak berkutik lagi.
Pak Kadir tidak bernafas lagi.
Setelah sadar dari pingsan, kamu mendorong-dorong tubuhnya yang berat.
Lelaki itu tak bergerak. Kamu berteriak panik. Celaka, Tuminah. Lelaki
itu terkena serangan jantung. Celaka, Tuminah.
Nasibmu, Tuminah. Wajahmu buruk. Kewanitaanmu terlalu sempit. Lelaki
yang menyetubuhimu mati.
Sekarang, telpon saja polisi, Tuminah!
Tuminah
5/
5