Malam Jumat Kliwon

cerita seks indo

Masih segar dari ingatanku, kejadian yang amat memilukan sekaligus amat menyenangkan ketika aku diperkosa oleh oknum polisi beberapa tahun yang lalu.

Namaku Aisyah, aku adalah seorang ibu rumah tangga, usiaku baru 23 tahun. Aku kawin pada usia 20 dengan seorang pemuda berumur 4 tahun diatas usiaku.

Setelah 2 tahun menikah, aku mendapatkan momongan seorang anak laki-laki yang kini berusia 1 tahun, betapa senangnya hari-hariku mempunyai anak yang lucu dan sehat.

Suamiku bekerja sebagai sopir taxi, yang pendapatannya tidak begitu besar, malah kadang-kadang sumiku sering nombok untuk setoran, karena penumpang taxi sejak krismon makin berkurang saja. Apalagi saat ini perusahaan armada taxi di Jakarta makin menjamur.

Skil suamiku hanya sebatas membawa mobil, jadi mau tidak mau mencari nafkah dengan menjadi sopir.

Hari itu Kamis, tanggal 23 Mei 1998. Jam dinding Seiko di kamarku sudah menunjukkan pukul 11 malam. Saat itu aku sedang menyusui si Udin yang rewel menangis terus menurus sejak maghrib tadi.

Seharusnya, Anto suamiku sudah ada di rumah karena selama ini ia berangkat ke pool taxi pukul 9 pagi dan tiba di rumah tidak lebih dari jam 10 malam.

Aku makin gelisah, anakku bertambah rewel seolah-olah ada firasat buruk yang akan menimpa keluargaku.

Aku terkejut tiba-tiba saja pintu rumah kontrakanku di ketok oleh seseorang yang memanggil-manggil namaku. "Aisyah.. Aisyah.. buka pintunya." Aku tidak mengenali suara itu, buru-buru kuhampiri daun pintu itu dan kubuka.

"Oh Pak RT.." ujarku, "Ada apa Pak," lanjutku. Belum sempat Pak RT menyahut, sekonyong-konyong dua orang berseragam polisi menimpali pembicaraan.
"Ibu istrinya Anto," ujar salah seorang polisi yang perawakannya agak gempal dan di dadanya terpampang label namanya: Firman, dengan pangkat Pratu.
"Betul Pak," ujarku singkat.
"Suami Ibu sekarang ada di Polsek, karena terlibat suatu tindak kriminal, sekarang Ibu kami jemput untuk menjenguk suami Ibu, sekalian nanti kami akan meminta keterangan dari Ibu." ujar Pratu Firman.

Akhirnya setelah aku menitipkan anakku kepada tetangga sebelah, aku berangkat ke Polsek bersama kedua polisi tadi. Karena terburu-buru aku tidak sempat berganti pakaian yang pantas. Aku baru sadar bahwa aku hanya memakai daster tipis, tanpa memakai BH.

Rupanya sang polisi mengendarai mobil patroli kijang losbak yang di belakangnya ada dua buah bangku panjang yang saling membelakangi. Aku disuruh duduk di tengah, diapit kedua polisi, di samping kiri adalah Firman sedangkan sebalah kananku adalah Pratu Hasan yang mengemudikan mobil.

Mobil sudah melaju kira-kira 3 km dari rumahku yang terletak di Kampung Bahari Tg. Priok. Sekarang mobil sudah berada di Jl.RE Martadinata, Ancol. Suasana jalan terasa sepi, jarang sekali kendaraan yang kami jumpai, maklum sudah jam 12 malam, apalagi susana tragedi Mei 1998 masih membekas di kalangan warga Jakarta.

Tiba-tiba saja mobil kami mendadak mogok, tepatnya di ujung jalan Pademangan dekat rel kereta. Di situ susananya agak gelap, karena jauh dari lampu jalan.
"Bah apa pula ini," ujar sang sopir, yang bernama bernama Pratu Hasan dengan logat bataknya.
"Coba lihat bensinnya Man," lanjutnya menyuruh Pratu Firman mengecek tangki.
Dengan mempergunakan lampu senter dilihatnya tangki, "Wah kita kehabisan bensin."
"Gila, kita bisa nginap di sini, mana ada jam segini tukang bensin buka, mana Pom bensin pun di sekitar sini nggak ada." Ujar Pratu Firman mengomel tak jelas.

Angin malam meniup deras, ini membuat rambutku yang mengibas-ngibas hingga menyentuh wajah Pratu Hasan.
"Bah, wangi pula rambutmu, habis shampoan ya?".
Aku tidak menjawab. Kulihat Pratu Hasan turun dari mobil menghampiri rekannya yang tengah duduk di depan gubuk. Mereka sepertinya sedang berbisik-bisik. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tidak lama kemudian Pratu Firman memanggil namaku, "Mbak Aisyah, turunlah ke sini sebentar, kita santai aja di gubuk ini."
"Biar aku di sini saja," sahutku.

Kulihat Pratu Firman menghampiriku, lalu membuka pintu dan duduk di sebelahku.
"Kenapa, kamu lebih suka di dalam mobil?"
Aku hanya mengangguk menahan kantuk, karena arloji di tanganku sudah menunjukkan pukul 1:30 WIB. Aku membaca gelagat Pratu Firman, sepertinya dia akan berbuat tidak baik terhadapku.

Dugaanku tidak meleset, sekarang tangan Pratu Firman sudah berada di atas pahaku, dia mengelus-elus dan meraba-raba dan mulai menyibakkan dasterku. Aku berusaha menampiknya. Dia tertawa kecil, lantas berucap, "Kamu cantik dan manis."

Sejurus dengan itu Pratu Hasan sudah berada di samping kananku. Tanpa basa-basi tangannya sudah melingkari pinggangku, sedangkan tangan satunya lagi menyentuh dadaku. Aku yang kelupaan tidak memakai BH langsung berdesir, darahku naik ke ubun-ubun.

"Jangan macam-macam Pak."
"Kami tidak macam-macam Mbak, kami hanya butuh satu macam, layani kami." kata Pratu hasan.
Hanya dengan hitungan detik bibirnya sudah menyosor ke bibirku. Aku makin tersentak. Belum hilang keterkejutanku, Pratu Firman menyodokkan jarinya ke arah vaginaku. Aku menggelinjang.

"Apa yang kalian inginkan," ujarku setengah teriak.
"Layani kami," kata Pratu Firman.
"Kalau kamu mau, nanti suamimu akan kami bebaskan," sambung Pratu Hasan.
"Benarkah?" ujarku.
"Itu pasti, yang penting puaskan kami dengan layani kami dengan baik.." janji Pratu Hasan.
"Bagaimana, setuju?" kata Pratu Firman sambil mencubit pahaku.
Aku bingung, aku linglung, tidak mengiyakan juga tidak menolak tawaran kedua polisi itu. Yang kutahu dari cerita teman-teman kalau berurusan dengan polisi pasti harus dengan uang, tentu tidak sedikit. Sedangkan aku tidak mempunyai tabungan ataupun emas.

Disaat aku bingung, tali dasterku sudah terlepas dan aku pun baru tersadar bahwa CD-ku sudah dilepaskannya, dadaku sudah terbuka, sebab dasterku sudah ditarik turun dari tubuhku. Pratu Hasan mengenyot-ngenyot putingku, persis si Udin anakku sedang menetek. Bedanya hisapan Pratu Hasan menimbulkan gairah yang amat menegangkan bagi payudaraku. Sedangkan Pratu Firman minjilat-jilat pahaku yang mulus dan membentangkannya, dalam detik itu pula vaginaku sudah dijilati oleh polisi bejat itu.

Sebagai wanita muda yang gairah seksnya normal, hal ini tentu menimbulkan fantasi-fantasi, tanpa sadar aku turut menikmati permainan yang tengah dikembangkan oleh kedua polisi yang memang masih muda.

"Ooohh.. aahh.. jangan.. oohh.." hanya itu yang keluar dari mulutku, tanpa bisa mencegah aktivitas kedua polisi berpangkat Pratu tsb.

Tanganku ditarik dan ditempelkan ke buah zakar Pratu Hasan, yang ternyata sudah melepaskan celana dalamnya. Kuremas panis besarnya yang sudah menegang, kuelus dan kuusap buah pelirnya. Kulihat matanya mencerminkan kenikmatan. "Ooohh.. terus.. aduh enak sekali.." ujar Pratu Hasan.Aku pun terbawa arus nikmat yang tiada tara saat klitorisku disentuh lidah Pratu Firman. Lidahnya yang panjang diatas rata-rata menari-nari di atas kemaluanku.

Kedua gunung sindurku sudah mengeras bak batu pualam, aku sudah tidak tahan lagi. Cairan hangat di lubang kemaluanku mengalir deras, Pratu Firman menikmati cairan putih bening milikku dengan senang.

"Ayo kita pindah ke gubuk.." ujar Pratu Firman.
Kini kami sudah berada di gubuk, dengan alas dasterku, aku ditelentangkan di atas meja panjang. Tanpa daya kubiarkan mereka berdua menikmati tubuhku yang mulus, tubuh yang seharusnya hanya untuk suamiku, Bang Anto.

"Maafkan aku Bang Anto, ini semata-mata untuk membebaskan dirimu dari penjara.." ujarku dalam hati.
Tiada yang terlewat, setiap centi tubuhku dilahap habis oleh kedua Pratu bajingan. Anehnya aku turut menikmatinya, karena memang sangat mengasyikkan. Mereka pandai sekali mencari celah-celah yang membuatku lupa segala-galanya. Mereka berdua rupanya mencari kesepakatan untuk menentukan siapa yang pertama mencobloskan rudalnya ke vaginaku. Sedangkan aku seolah sudah berada diawang-awang dan tidak sabar lagi untuk menikmati rudal-rudal mereka.

"Ayo cepat masukkan, aku sudah tidak tahan.. ayo Mas, siapa yang duluan.. cepat.. jangan biarkan libidoku turun," pintaku tak sabar.
"Oke, kamu duluan Fir." ujar Pratu Hasan.
"Oke thank's.." timpal Pratu Firman.

Dengan cekatan Pratu Firman sudah berada di atas tubuhku, lidahnya menyusuri belahan dadaku seolah ingin meningkatkan libidoku yang sempat drop karena menunggu terlalu lama. Pratu Firman memang tahu apa yang kumau.

"Ayo sekarang tancapkan," ujarku.
Sejurus dengan itu kutuntun zakar yang sudah mengeras itu ke liang vaginaku. "Bleess.." zakar Pratu Firman menembus vaginaku. "Aaauu.." betapa nikmatnya. "Terus genjot.. genjot.. genjot.." pintaku lirih. Mungkin sampai 9 genjotan aku sudah tak mampu lagi menahan klimaks. Dan ternyata benar dalam hitungan ke 6 aku memberi aba-aba.
"Firman, aku ingin keluar.."
"Tunggu kita barengan yach.." ujar Firman sambil menghentikan genjotannya sejenak.
"Oke dech Sayang.."
Dan.. "Croott.. croott.. croott.." Cairan hangat dari zakar Pratu Firman menyapu vaginaku, seperti air bah yang tak dapat dibendung.
"Ooohh, Firman enak sekali.."
"Aaahh.. barangmu legit.."
Dalam detik itu pula kumuntahkan cairanku, tentunya berbaur dengan sperma Firman.

Kami berdua terkulai dan saling memeluk erat. Pratu Hasan resah, menunggu giliran.
"Firman, gantian. Turun kamu, sekarang giliranku.."
Dengan mempergunakan kaos, Pratu Hasan membersihkan sperma yang berceceran di selangkanganku. Aku masih lemas, libidoku sudah hilang, tapi Pratu Hasan pandai memancing gairahku untuk timbul. Dikulumnya vaginaku berlama-lama, baru setelah 5 menit libidoku bangkit. Pratu Hasan menindih tubuhku dia menciumi belahan dadaku, mengulum putingku, mencium ketiakku, mencium telingaku dan menggesek-gesekan rudalnya ke vaginaku.

Vaginaku ingin dihujam kembali, aku menginginkan itu.
"Ayo sekarang Bang," ujarku memberi aba-aba.
"Oke deh.."
Kuraih batang kemaluannya dan kubimbing kearah lubang kemaluanku. Dan.. "Slepp.."
"Ayo goyang, Sayang" ujar sang Pratu.
Kugoyang dan kuputar.
"Ooohh.. aahh.." koor suara kami berdua dengan kompak.
Pratu Haan merem melek keenakan, aku juga keenakan.
"Aku mau keluar.." kata Pratu Hasan.
"Ya sudah ayo, aku juga ingin.."
Dan.. "Crot.. croott.. croott.."
Kami berdua kehilangan keseimbangan. Kamu larut dalam kenikmatan. Kenikmatan malam jumat kliwon. Tak terasa fajar diufuk sudah mengintip. Itulah kisahku di malam Jumat Kliwon.