Hari liburannya ia habiskan dengan hiking, memotret keindahan alam dan menjalin komunikasi dengan penduduk setempat, hingga kemarin ia menerima telepon dari salah seorang cast film Denias yang mengabarkan bahwa sebagian besar cast film tersebut kini membentuk kelompok teater di Jayapura, merekapun mengajak Pevita untuk mengunjungi kelompok teater mereka yang masih seumur jagung. Itulah alasannya kenapa Pevita kini berada di sebuah pesawat kecil, melintasi padang rumput dan hutan-hutan menuju Jayapura. Didalam pesawat, Pevita melongok melalui jendela, dan memotret hamparan hutan dan padang rumputnya dibawahnya.
“Pak Christian, katanya di sebagian hutan-hutan disini, masih terdapat suku terasing yah, trus masih ada yang kanibal gitu, emang bener?” tanyanya dengan nada khas seorang remaja yang baru tumbuh gede.
“Apaa? Ha.ha..ha. Kalo suku terasing memang masih banyak, tapi kalo yang kanibal bisa dibilang sudah tidak ada. Kalaupun ada beberapa kasus, yah kasus khusus saja, bukan kebiasaan sukunya” jelasnya.
“Ohh gitu” katanya dengan wajah polos.
Pevita pun kembali melihat-lihat pemandangan indah yang terhampar dibawahnya,sambil sesekali menggunakan kamera nikon-nya untuk memotret pemandangan itu.
Tiba-tiba pesawat tersebut terasa terguncang hebat, Chris sejenak berjuang mengendalikan pesawat, berhasil, namun guncangan kedua kembali menerpa, seluruh indikator di kokpit mendadak kacau, Chris lalu mengetuk-ngetuk indikator altometer dan barometer, sepertinya ada kerusakan, bahkan jarum tanda bahan bakar pun naik turun dengan cepat.
“Pak ada apa?” tanya Pevita mulai ketakutan, melihat sang pilot yang menampakkan wajah cemas
“Gak tahu, semua indikator kok tiba-tiba ngaco gini. De Pevita pegangan yang erat, kayaknya kita harus mendarat darurat” kata Chris yang masih sibuk mengendalikan kemudi pesawat yang mulai liar.
Pevita belum pernah merasa setakut ini sebelumnya, iapun berpegang erat erat pada kursinya, ia merasakan pesawat tersebut menukik tajam, dan celakanya hanya ada hutan lebat sejauh mata memandang. Getaran pesawat makin hebat, dan…
“Boooommm…braakk…gerressk…” pesawat itupun jatuh menimpa sekumpulan pohon besar didalam hutan tersebut,
“Whuaaahhh…toloooong!” kepala Pevita seakan mau pecah bukan hanya karena suara bising yang ditimbulkan benturan pesawat, tapi juga karena kepalanya memang membentur kokpit pesawat didepannya, pandangannya sesaat menjadi merah, lalu segalanya menjadi gelap
******
Pevita merasa seakan sedang bermimpi, merasa ada tangan-tangan tak bertubuh mejamahi tubuhnya, mengangkatnya, lalu kemudian tangan-tangan tersebut berubah menjadi sosok yang menyeramkan, lalu ia serasa melihat rumahnya di Jakarta, lengkap dengan ayah dan ibunya berdiri diluar, Pevita pun berusaha menghampiri mereka, namun tangan-tangan itu menahannya, ia berusaha menggapai kedua orang tuannya, tetapi mereka semakin menjauh, iapun berteriak sekuatnya.
“Pappaaaa…maaammaa..” Pevita terbangun dengan terengah-engah, kepalanya terasa begitu pusing dan berat seperti diganduli batu besar.
Ia berusaha bangkit untuk duduk tegak, tapi tubuhnya terasa lemah. Ia membuka lebar-lebar kedua matanya yang berkunang-kunang. Yang pertama ia lihat adalah atap rumbia diatasnya, lalu dinding kayu di sekelilingnya, pembaringannyapun terasa keras, sampai akhirnya ia menyadari bahwa ia tidur tidak beralaskan kasur sama sekali. Dimana aku, pikirnya dalam hati. Saat itulah sesosok tubuh memasuki rumah kayu tersebut, sesosok tubuh hitam legam dengan rambut ikal kemerahan. Tubuh itu hampir telanjang, kecuali sebuah rok dari sejenis tumbuhan yang dipakainya, sementara payudaranya yang hitam menggelambir terlihat bebas, rupanya sosok tubuh itu seorang wanita.
Pevita Pearce : Kenangan di Lembah Baliem
5/
5