Guru yang Beruntung

cerita seks indo

Theo terkejut ketika membaca dua kalimat singkat pada sepotong kertas yang terselip di antara hasil test murid-muridnya...
"Saya ingin punya cowok yang seperti Bapak, jantan! Apalagi kumis Bapak yang tebal itu, menggemaskan".

Setelah membacanya, ia menarik nafas panjang beberapa kali. Ia menduga bahwa potongan kertas itu terselip di kertas test muridnya yang nakal, Debby. Lalu ia memutuskan untuk merobek kertas itu menjadi beberapa potongan kecil. Ia tak ingin istrinya menemukan dan membaca kertas itu.

Tanpa disadarinya, pikiran Theo menerawang ke beberapa 'peristiwa menyenangkan' ketika ia mengajarkan matematika di kelas 2B. Kelas itu menjadi berbeda daripada kelas-kelas lainnya karena di kelas itu ada Debby yang cantik, berhidung bangir, berkulit kuning bersih, dan selalu duduk di kursi barisan paling depan. Kursi itu berjarak kira-kira 3 meter dari meja guru dan persis berhadap-hadapan.

Debby menjadi murid yang 'istimewa' karena bila sedang latihan mengerjakan soal, lututnya selalu agak renggang. Dari mejanya, Theo dapat memandang celah di antara kedua lutut itu. Dan karena murid-murid lainnya sedang sibuk mengerjakan soal masing-masing dengan kepala tertunduk, maka Theo merasa bebas menatap pemandangan indah di depannya.

Pertama kali, Theo merasa bahwa hal itu hanya sebuah ketidaksengajaan. Murid yang istimewa itu mungkin terlalu asyik dan serius mengerjakan soal latihan sehingga tidak menyadari posisi duduknya yang menggairahkan birahi lelaki. Sesekali kedua lutut itu dirapatkan, tapi tak lama kemudian terbuka kembali.

Ia jadi terlena menatap keindahan paha dan kecantikan wajah gadis remaja yang duduk di depannya. Dan tak sengaja, ia melihat senyum kecil di sudut bibir gadis itu ketika memergoki arah tatapan matanya. Saat itu, ia langsung mengalihkan pandangan ke sekeliling ruang kelas. Tapi tak lama kemudian, seperti dihipnotis, pandangannya beralih kembali ke tempat semula. Ternyata kedua lutut itu terbuka semakin renggang hingga ia dapat melihat kemulusan paha bagian dalamnya.

Theo tak mampu mengalihkan matanya ketika muridnya itu kembali mengangkat wajahnya. Sesaat, tatapan mata mereka berbenturan. Lalu keduanya tersenyum. Tak lama kemudian, kedua lutut itu semakin direnggangkan hingga ia terpana menatap segaris celana dalam berwarna putih. Barulah disadarinya bahwa paha itu memang sengaja direnggangkan agar ia dapat memandang keindahan yang tersembunyi di balik rok seragam berwarna abu-abu itu.

Pada kesempatan lain, Theo hanyut ke dalam fantasinya sendiri. Seandainya mungkin, ia ingin menghampiri dan melihat keindahan itu lebih dekat lagi. Ia ingin mengusap kemulusan paha itu dan mengecup pori-porinya berulang kali. Ia ingin mencicipi kehalusan kulit paha itu dengan ujung lidahnya. Lalu ia akan mengecup dan sesekali menjilat, mulai dari lutut hingga ke pangkal paha. Ia juga ingin menyusupkan telapak tangannya ke bawah rok gadis remaja itu agar dapat meremas bongkah pinggul yang pasti masih kenyal.

Dan yang paling penting, ia ingin menyibak secarik kain tipis penutup pangkal paha gadis itu agar ia dapat menghirup aroma semerbak yang tersembunyi di situ. Aroma seorang gadis belia pasti sangat segar, katanya dalam hati. Aroma yang membius! Aroma yang membuat ia tak berdaya! Lalu ia akan menghirup aroma itu dalam-dalam. Setelah aroma itu memenuhi rongga dadanya, ia akan mencium dan menjilat-jilat kelembutan bibir vagina yang segar itu. 
Lidahnya akan menari-nari dengan liar agar kedua belah paha mulus itu 'menggunting' lehernya sehingga lidahnya terperangkap dalam liang vagina yang basah. Setelah melipat lidahnya seperti bentuk sekop, akan dihisapnya semua lendir yang tersembunyi di bibir dalam dan dinding vagina itu. Akhirnya, ia akan meremas-remas bongkahan pinggul kenyal itu sambil membiarkan lidahnya merasakan denyutan-denyutan vagina seorang gadis remaja yang sedang mencapai puncak orgasmenya.

Kira-kira seminggu setelah menyuguhi pemandangan indah di pangkal pahanya, tiba-tiba Debby berjalan menghampiri Theo. Saat itu bel jam istirahat telah berbunyi. Gadis itu sengaja keluar paling akhir dari ruang kelas.
"Ini untuk Bapak!" katanya sambil meletakkan sepotong kertas di atas meja, lalu melangkah terburu-buru meninggalkan ruang kelas.

Theo membaca tulisan di kertas itu, 'Coba tebak, besok Debby pakai CD warna apa?'. Dan di bawah tulisan itu ada nomor HP. Setelah merenung sejenak, Theo memasukkan nomor 
HP itu ke dalam memory HP-nya. Sejenak ia ragu mengirimkan SMS untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi ada bisikan di lubuk hatinya, 'Ini hanya sebuah game, tak salah untuk dicoba.' Dan kemudian ia menuliskan satu kata, 'Pink.'

Kira-kira semenit kemudian, HP Theo berbunyi. Ia membaca SMS yang masuk, 'Salah.' Lalu dibalasnya, 'Biru muda.' Tak lama kemudian, masuk jawaban, 'Salah!'. Dibalasnya lagi dengan, 'Putih!'. Jawabannya, 'Masih salah!'. Setelah merenung sejenak, Theo membalas, 'Hitam.' Lalu ia menerima balasan, 'Ayo, itu CD siapa? Debby nggak punya CD warna hitam!'.

Theo tersipu. Lalu ia menulis SMS yang agak panjang, 'Nyerah deh. Yg pernah aku lihat hanya: putih, pink, dan biru muda. 2 hr y.l aku nggak bisa melihatnya krn pahamu kurang terbuka!' Dan ia pun menerima jawaban yang agak panjang, 'Jadi Bpk ingin bsk Debby pakai warna apa?' Merasa game yang mereka mainkan telah meningkat panas dan mesra, dengan berani Theo menulis, 'Jgn pakai!!' Dan setelah SMS itu dikirimkan, hingga menjelang tidur malam harinya ia tidak mendapat balasan. Mungkin ia marah dan tersinggung, pikir Theo.

Keesokan harinya, jantung Theo berdebar-debar ketika berada di ruang kelas. Setelah menjelaskan beberapa contoh soal, ia melangkah berkeliling di antara kursi murid-muridnya. Ia berbuat demikian agar tak sempat bertatap mata dengan gadis remaja yang nakal itu. Tapi ketika sedang melangkah di sebelah kiri kursi Debby, gadis itu sengaja menjatuhkan pensilnya ke lantai persis di depan kursinya.

Tanpa sadar, dengan refleks ia berhenti lalu menunduk memungut pensil itu. Dan ketika menengadah, tiba-tiba wajahnya merona merah. Walau hanya sesaat, dilihatnya gadis itu sengaja mengangkangkan kedua pahanya lebar-lebar, lalu dengan cepat dirapatkan kembali. Memang hanya dalam hitungan detik, tetapi ia sempat melihat pangkal paha itu dari jarak yang sangat dekat. Di pangkal paha itu ada setumpuk kecil bulu-bulu ikal berwarna hitam. 
Bukan hitam pekat, tetapi hitam kecokelat-cokelatan karena bercampur dengan bulu-bulu halus, lurus, dan masih pendek. Bulu-bulu yang baru tumbuh!

Setelah berdiri kembali dan berhasil menguasai dirinya, Theo menatap ke sekeliling ruang kelas. Tak terlihat ada tanda-tanda bahwa murid-murid lainnya mengetahui peristiwa itu. Lalu dengan suara tegas berwibawa, ia berkata..
"Kerjakan latihan soal nomor 1 dan 2."

Sore itu, ketika baru saja menutup pintu mobilnya, HP Theo berbunyi. Ia terpana ketika membaca nama yang muncul, Debby.

"Ya, ada apa Debby?"
"Bapak marah ya?! Kenapa setelah mengambil pensil Debby dari lantai Bapak tidak duduk kembali di kursi Bapak. Padahal hari ini Debby sengaja tidak pakai CD agar Bapak bisa memandanginya!"

Lidah Theo tiba-tiba terasa kelu. Gila, katanya dalam hati. Si Debby ini bicara to the point. Berkesan vulgar. Menantang. Gadis itu seolah tak peduli, atau memang tak mau peduli efek dari kalimat-kalimat nakal yang diucapkannya.
"Aku tidak marah! Aku sedang memikirkan apakah aku masih akan mendapatkan kesempatan memandang pangkal pahamu dari jarak sedekat itu." kata Theo setelah memutuskan untuk 
'masuk' ke game yang lebih dalam lagi.

Hanya orang bodoh yang menolakmu, katanya dalam hati. Bahkan kamu bisa membuat semua lelaki menjadi bodoh dan tak berani membantah keinginanmu. Lelaki mana yang berani menolak keinginan seorang gadis remaja yang cantik dan seksi seperti kamu? Lelaki mana yang akan membantahmu bila kau janjikan akan mendapatkan hadiah berupa sepasang paha ramping dan panjang yang akan membelit pinggangnya?

"Bapak suka?"
"Suka banget! Apalagi kalau boleh dicium!"
"Bapak mau mencium paha Debby?"
"Mau! Paha dan pangkalnya ya!"
"Ha?!"
"Apa vagina Debby belum pernah dicium?"

Sejenak tak ada jawaban. Theo pun sempat ragu-ragu untuk melanjutkan. Apakah mungkin si Debby yang vulgar dan nakal itu masih virgin? Belum pernah merasakan lidah lelaki menjilat-jilat bibir vaginanya, mengisap-isap klitorisnya? Apakah mungkin ia belum pernah menggosok-gosokkan dan menghentak-hentakkan celah vagina di bibir dan hidung seorang lelaki? Kalau belum, mengapa ia mengatakan suka pada kumisku?, tanya Theo dalam hati.

Rasa penasaran membangkitkan gairah kejantanannya. Bagian bawah pusarnya mulai tegang ketika membayangkan keindahan bulu-bulu di sekitar vagina itu. Bulu-bulu yang dapat ia tatap sepuas hatinya. Tidak hanya pandangan sekilas seperti ketika ia memungut pensil dari depan kursi gadis belia itu. Bulu-bulu halus yang masih pendek, yang membuat ia gemas ingin menarikinya dengan bibirnya. Menggelitiknya dengan kumisnya yang kasar. Gelitikan yang membuat pinggul itu mengelinjang. Lalu ia akan menjilatnya. Dan karena tak sabar, gadis itu akhirnya menarik kepalanya agar ia mencium dan menjilati bibir vagina yang mungil itu. Ini kesempatan emas yang mungkin terjadi hanya sekali seumur hidup, atau tidak akan pernah terjadi sama sekali! Take it or leave it, katanya dalam hati.

"Hallo Debby!"
"Kalau dicium di situ belum pernah. Kalau dahi dan pipi sering, dicium Papa."
"Terserah Debby deh. Aku akan menurut saja. Kalau hanya boleh memandang saja, aku suka. Kalu diijinkan mencium, aku pun suka. Dilarang, aku pun akan patuh."
"Kalau suka, Debby akan mengijinkan Bapak memandangnya lagi dari jarak dekat!"
"Kapan?"
"Mau sekarang?"
"Hah?!"
"Debby sekarang ada di Mall Arion. Bapak jemput Debby ya. Jangan parkir. Masuk ke halaman mall dan melewati pintu depan. Debby sekarang berdiri di situ, buruan ya!"
"OK!"

Theo tersenyum sambil melirik Debby yang duduk di sebelahnya. Secara material, walau hanya seorang guru matematika, ia tidak kekurangan. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ia memiliki rumah dan mobil sedan yang baik pemberian orangtuanya. Ia mencintai matematika dan ingin mengajarkannya kepada orang lain. Cita-citanya hanya ingin membuat matematika menjadi sebuah ilmu yang mudah untuk dimengerti. Sikapnya yang sabar ketika mengajar membuat ia disukai murid-muridnya. Ia memang tidak ingin diarahkan orangtuanya menjadi seorang pengusaha seperti yang dialami adiknya.

"Kita ke mana?" tanya Theo memecah keheningan.
"Ke rumah Debby saja. Di rumah Debby hanya ada pembantu. Papa dan Mama sedang ke Singapore."
"Karena sekarang tidak sedang di kelas, sebaiknya panggil langsung nama, jangan pakai Pak."
"Benar? Nggak marah?"
"Benar! Walau perbedaan usia di antara kita mencolok, bukan berarti kita harus membuat sekat pemisah. Sekat seperti itu sangat membatasi ruang dan gerak. Secara formal, kadang-kadang sekat seperti itu memang diperlukan untuk menjaga jarak karena kita terikat pada norma dan etika. Kalau informal, sekat-sekat itu tak diperlukan karena akan membatasi seseorang dalam mengekspresikan dirinya. Setuju?" Debby tertawa kecil mendengar uraian Theo.
"Kayak menjelaskan rumus matematika saja!" komentarnya.

Ternyata gadis remaja itu tinggal di sebuah rumah besar dan mewah. Debby menggandeng tangan Theo menuju ruang keluarga yang terletak di bagian tengah, lalu menghilang di balik salah satu pintu setelah aku menghempaskan pantat di atas sebuah sofa besar dan empuk. Tak lama kemudian, seorang pembantu datang meletakkan segelas minuman ringan di hadapanku dan kemudian dengan terburu-buru menghilang kembali ke arah belakang.

Sambil menunggu, Theo melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan. Semua furniture di ruangan itu tertata rapi dan bersih. Pada sebuah dinding, tergantung lukisan berukuran kira-kira 1 x 1 meter. Lukisan seorang anak perempuan kira-kira berumur 7 tahun yang berdiri diapit oleh ayah dan ibunya. Anak itu sedang tersenyum lugu. Rambutnya berponi. Lucu. Itu pasti Debby dan kedua orangtuanya, kata Theo dalam hati.

Kurang lebih 15 menit kemudian, Theo terhenyak. Gadis remaja itu berdiri di hadapannya dengan gaun tipis berwarna putih yang ujung bagian bawahnya tergantung kira-kira sejengkal di atas lutut. Gaun tanpa lengan. Hanya dua utas tali di bahu kiri dan kanan yang mengikat gaun itu agar tetap tergantung menutupi tubuh pemiliknya. Cantik. Seksi. Mempesona. Rambutnya lurus sebahu. Tingginya yang kira-kira 165 cm membuat ia tampak anggun. Tonjolan dadanya proporsional. Gaun tipis itu seolah menebarkan sejuta misteri yang memaksa mata lelaki menatap tak berkedip untuk mengungkap rahasia lekuk-lekuk tubuh yang tersembunyi di baliknya. Bagian bawah gaunnya yang lebar dan berenda seolah menjanjikan telaga birahi yang akan menyeret lelaki menyelam dalam sejuta fantasi.

"Debby, kau cantik sekali," kata Theo memuji. Pujian jujur yang keluar dari lubuk hatinya.
Debby tersenyum. Selama ini belum pernah ada lelaki yang memujinya seperti itu. Ia senang mendengar pujian itu. Ia pun sangat senang karena sebelumnya tak pernah melihat guru matematikanya itu terpesona menatapnya. Ia pun belum pernah melihat tajamnya sorot mata lelaki yang terpesona menatap. Dengan sikap feminin, ia duduk di sebelah kiri Theo.

"Debby, mengapa kamu memakai gaun seperti itu?"
"Karena Debby suka pada Bapak. Juga karena Bapak tampan dan jan.."
"Ehh, ehh! Tidak pakai sebutan Bapak!"
"Lupa..! Juga karena Theo tampan dan jantan, itu jawabannya!"
"Alasan lain?"
"Debby nggak punya saudara. Debby anak tunggal. Sering kesepian di rumah karena sering ditinggal Papa dan Mama. Nggak punya sahabat karena banyak teman-teman perempuan yang iri sama Debby. Nggak punya pacar karena cowok yang seusia Debby rata-rata egois. Obsesinya mereka selalu tentang sex. Padahal Debby belum tentu suka. Jelas Bapak guru?"

Theo tertawa karena kata 'bapak guru' itu diucapkan dengan cara yang lucu. Dan sebelum tawanya berakhir, tangannya meraih bahu gadis itu. Dirangkulnya dengan ketat. Tak ada perlawanan. Sisa sabun beraroma lavender yang memancar dari tubuh gadis itu terasa menyegarkan ketika aromanya menyengat hidung Theo. Dengan gemas, di kecupnya pipi gadis itu. Kiri dan kanan. "Seperti Papa," kata Debby sambil tertawa kecil.

Lalu ia bangkit dan berjalan ke arah pintu penghubung yang membatasi ruang keluarga dengan bagian belakang rumah. Setelah mendengar 'klik', ia melangkah kembali menghampiri 
Theo dan duduk rapat persis di sebelah lelaki itu.

Theo menggamit dagu gadis itu agar menoleh ke arahnya, kemudian dengan cepat bibirnya memagut bibir mungil gadis itu. Bibir yang terlihat basah walau tanpa lipstik. Sejenak tak ada reaksi. Diulangnya mengulum sambil menjulurkan lidahnya untuk mengait-ngait. Tapi lidah gadis itu masih tetap diam bersembunyi di rongga mulutnya. Sejenak, Theo melepaskan pagutan bibirnya. Ditatapnya wajah yang cantik itu sambil menggerakkan jari tangannya untuk menyibak beberapa helai rambut yang terjatuh di kening gadis itu. Dan ketika kembali mengulang ciumannya, ia merasakan ujung lidah yang menyusup di antara bibirnya.

Segera dipagutnya lidah itu. Dihisapnya dengan lembut agar menyusup lebih dalam ke rongga mulutnya. Kedua telapak tangannya turun ke bahu. Setelah mengusapkan jari-jarinya berulang kali, telapak tangannya meluncur ke punggung. Lalu dibelai-belainya punggung itu dengan ujung-ujung jarinya sambil mempermainkan lidah gadis itu dengan ujung lidahnya. Tak lama kemudian, ia merasakan dua buah lengan melingkari lehernya. Semakin lama lengan itu merangkul semakin ketat. Kemudian ia mulai merasakan lidah gadis itu bergerak-gerak. Tidak hanya pasrah menyusup, tetapi mulai bergerak membelit dan balas mengisap.

Theo melepaskan pagutan bibirnya. Sejenak mereka saling menatap. Terlihat bias-bias birahi di kedua bola mata mereka. Lalu dikecupnya dahi gadis itu dengan mesra. Kemudian bibirnya berpindah mengecup bahu. Mengecup berulang kali. Dari bahu bibirnya merayap ke leher. Sesekali lidahnya dijulurkan untuk menjilat.

Debby menggelinjang karena geli, seolah sekujur tubuhnya sedang digelitiki oleh jari-jari yang nakal dan menggemaskan. Ia menyukai hal itu, menyukai kecupan dan jilatan yang merambat di sekeliling lehernya. Apalagi ketika ia merasakan lidah itu menjilat-jilat kerongkongannya disertai telapak tangan yang meremas buah dadanya. Sesaat, ia menahan nafas ketika telapak tangan itu hanya menekan buah dadanya, tetapi tak lama kemudian, ia menghembuskan nafas lega merasakan telapak tangan itu meremas dengan lembut.

"Aahh, Theo," desahnya sambil menghembuskan nafas panjang.

Bibir Theo kembali merayap ke bahu. Sambil sesekali mengecup, ia menggunakan giginya untuk melepaskan tali yang mengikat gaun itu. Lidah dan hembusan nafasnya membuat gadis itu menggelinjangkan bahunya.

Debby baru menyadari bahwa tali pengikat gaunnya telah terlepas setelah ia merasakan bibir lelaki itu menyusur menciumi belahan atas buah dadanya. Bulu roma di sekujur tubuhnya meremang. Belum pernah ada lelaki yang melakukan hal itu. Ia ingin menolak, ingin mendorong kepala yang semakin mendekati buah dadanya, tetapi tangannya terasa lemah tak bertenaga. Ada rasa geli dan nikmat yang menjalar di pori-pori sekujur tubuhnya. Rasa yang membuat ia tak berdaya menolak. Apalagi setelah merasakan lidah itu menjilat-jilat dadanya. Jilatan-jilatan basah yang membuat jari-jari tangannya menekan kepala lelaki itu ke dadanya.

Ia menarik nafas lega, merasa beruntung karena tidak mengenakan bra di balik gaunnya. Bibirnya sesekali mendesis-desis seperti kepedasan ketika ia merasakan jilatan-jilatan itu semakin liar menjelajahi buah dadanya yang baru mekar. Dan ketika puting buah dadanya terperangkap dalam jepitan bibir lelaki itu, ia merintih sambil menghentakkan telapak kakinya di atas karpet..

"Aarrgghh.. Theo, enaak! Aduuhh..!".

Sekujur tubuhnya merinding ketika merasakan puting dadanya dijentik-jentik dengan ujung lidah. Lalu digigit dengan lembut. Dilepaskan. Digigit kembali. Dilepas. Dan tiba-tiba ia merasakan buah dadanya dihisap agak keras, seolah ingin ditelan!

Debby mendesah ketika merasakan jari-jari tangan Theo mengelus-elus bagian dalam pahanya. Ia mendesah dalam kenikmatan sambil menghempaskan lehernya di sandaran sofa. Secara naluriah, direnggangkannya kedua belah pahanya agar jari-jari dan telapak tangan itu dapat merayap lebih dalam. Ia ingin segera merasakan jari-jari tangan itu mengelus-elus pangkal pahanya.

Isyarat itu dimanfaatkan Theo dengan baik. Dengan sebuah tarikan kecil, ia menyingkap gaun gadis remaja itu. Tak ada kesulitan ketika menyingkap gaun itu. Bagian bawahnya yang lebar membuat gaun itu tersangkut dengan mudah di bawah pusar. Ia terpaksa menghentikan aktivitas bibirnya karena ia ingin menunduk agar dapat memandang pangkal paha itu lebih jelas.

"Aku akan menciumnya," kata Theo sambil bangkit dari sofa, kemudian duduk di atas karpet persis di antara kedua lutut Debby.
"Jangan dicium, Theo. Debby takut."
"OK, tapi kasih pemandangan yang paling indah ya," kata Theo sambil mengangkat kaki kanan gadis itu.

Lalu diletakkannya telapak kaki kanan itu di atas sofa. Tak lama kemudian, bola matanya terbelalak menatap pesona yang terpampang di hadapannya! Sebelah paha tergeletak di atas sofa, sedangkan paha yang sebelah lagi tertekuk, telapaknya menginjak pinggir sofa. Dengan sebuah dorongan kecil menggunakan jari, paha yang tertekuk di atas sofa itu terbuka lebar-lebarnya.

"Indah sekali!" sambung Theo sambil menengadah menatap wajah gadis remaja yang cantik itu. Debby tersenyum malu. Ia ingin menutup pahanya, tapi gerakannya tertahan oleh tekanan jari di lututnya.
"Debby malu, Theo!" katanya dengan manja. Tapi di dasar hatinya, ada perasaan senang dan bangga melihat guru matematikanya berlutut di hadapannya, persis di antara kedua belah pahanya. Perasaan yang membuat dirinya merasa sangat dimanja dan dihargai.

Theo terbelalak menatap kemulusan paha dan celana dalam mini dari satin di hadapannya. Urat darah di batang kemaluannya meronta menatap pemandangan indah itu. Bagian depan celananya terasa sempit. Apalagi ketika ia menatap segaris bagian basah yang tercetak di permukaan vagina gadis itu. Bagian basah itu memperjelas bayangan bibir vagina yang tersembunyi di baliknya. Dan karena celana dalam satin itu sangat tipis, ia bahkan dapat melihat bayangan bulu-bulu yang tumbuh di sekitar bibir vaginanya.

Keindahan itu sangat mempesona sehingga ia terpaksa melepaskan ikat pinggang dan ritsleting celananya agar batang kemaluannya terbebas dari penderitaan. Lalu diciumnya paha bagian dalam yang tertekuk di atas sofa itu. Diciumnya berulang kali seolah tak puas merasakan kehalusan kulit paha itu di bibirnya. Setelah itu ciumannya berpindah ke paha sebelahnya. Sambil terus mencium dan sesekali menjilat, dielus-elusnya pula paha bagian luar. Semakin lama ciumannya semakin mendekati pangkal paha. Lalu ia berhenti sejenak untuk menghirup aroma semerbak yang semakin tajam menusuk hidungnya. Fantasinya di depan kelas telah menjadi kenyataan. Dengan gemas, dibenamkannya hidungnya persis di antara bibir vagina gadis remaja itu. Sesekali diselingi dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Theoo..! Aauuw!" pekik Debby karena terkejut sambil menggelinjangkan pinggulnya.

Tapi beberapa detik kemudian, ketika ia merasakan lidah lelaki itu menjilat-jilat bagian luar celana dalamnya, ia merintih-rintih. Ia merasa nikmat setiap kali lidah itu menjilat dari bawah ke atas. Jilatan yang lahap! Basah. Berliur. Jilatan yang membuat ia terpaksa memejamkan mata meresapi kenikmatan yang mengalir di sekujur tubuhnya. Jilatan yang membuat ia menjadi liar, yang membuat ia menghentak-hentakkan kakinya karena beberapa kumis kasar lelaki itu terasa seolah menyusup menembus celana dalamnya yang tipis. Di sela-sela kenikmatan yang mendera, kumis itu terasa menggelitiki vaginanya, membuat ia menggeliatkan pinggulnya berulang kali.

Celana dalam mini gadis itu semakin basah. Belahan bibir vaginanya semakin jelas terlihat. Lendir semakin banyak bermuara di vaginanya. Lendir itu bercampur dengan air liur. Karena tak tahan lagi menerima kenikmatan yang mendera vaginanya, sebelah tangannya menjambak rambut Theo, dan yang sebelah lagi menekan bagian belakang kepala.

"Theoo, aarrgghh! Debby seperti ingin pipis..!" kata gadis itu di sela-sela rintihannya. 
Theo menghentikan jilatan lidahnya. Ia menengadah dan melihat mata gadis itu sedang terpejam.
"Debby ingin pipis, Sayang?" tanyanya sambil menyisipkan jari telunjuk ke balik celana dalam yang menutupi bibir vagina gadis itu, lalu ditariknya ke samping.

Terpampanglah di hadapannya vagina seorang gadis remaja yang sedang dilanda birahi. Masih kuncup tetapi menebarkan janji untuk segera merekah dihisap serangga yang menghinggapinya. Dengan jari telunjuk, dibukanya sedikit bibir luar vagina berlendir itu. Lipatan yang sedikit terbuka hingga memperlihatkan vagina yang bersih, segar dan berwarna pink. Melihat hal itu, ia memutuskan untuk memberikan cumbuan terbaik. Cumbuan yang sulit untuk dilupakan, yang akan membuat gadis itu menjadi jinak. Ia merasa mampu untuk melakukan hal itu. Dan sebagai balasannya, mungkin ia akan mendapatkan perlakuan yang sama. Mempertimbangkan hal itu, ia menenggelamkan dan menggosok-gosokkan hidungnya ke belahan bibir vagina gadis itu. Semakin ditekan hidungnya, semakin semerbak aroma yang memenuhi rongga paru-parunya.

Debby membuka kelopak matanya. Bola matanya seolah ditutupi kabut basah dan terlihat mengkilat ketika ia menunduk menatap wajah gurunya yang terselip di pangkal pahanya. Ia tak dapat mengucapkan kata-kata. Bibirnya terasa kelu. Kaku. Nafasnya terengah-engah. Mulutnya setengah terbuka megap-megap menghirup udara. Ia terpaksa menggeliatkan pinggulnya untuk menahan cairan yang terasa ingin mengalir keluar dari vaginanya. Ia tidak tega 'mempipisi' mulut guru matematikanya itu.

Dicobanya mendorong kepala itu agar terlepas dari vaginanya. Tapi kepala itu malah sengaja semakin ditekan ke pangkal pahanya. Dicobanya untuk menarik pinggulnya. Tapi kedua lengan guru yang sangat disayanginya itu semakin kuat merangkul pinggulnya. Walau telah mencoba meronta, mulut yang memberinya kenikmatan itu tetap menghisap-hisap vaginanya. Semakin meronta, semakin keras remasan tangan di kedua bongkahan pantatnya. Dan semakin keras pula tarikan di bongkahan pantatnya agar vaginanya tak lepas dari hisapan dan jilatan mulut itu.

Akhirnya ia menyimpulkan bahwa mulut itu memang ingin 'dipipisinya'. Mulut itu memang sengaja ingin memanjakan vaginanya. Kesimpulan itu membuat ia melayang semakin tinggi dalam kenikmatan, membuat lendir semakin banyak mengalir ke lubang vaginanya. Sedikit pun ia tak merasa ragu ketika mengangkat kakinya yang terjuntai di atas karpet, dan melilitkan betisnya di leher lelaki itu. Ia sudah tak ingin kepala itu lepas dari pangkal pahanya. Bahkan ia mempererat tekanan betisnya di leher lelaki yang sedang memanjakannya itu. Selain menggunakan betis dan paha, ia pun menggunakan kedua lengannya untuk menjambak rambut dan menekan bagian belakang kepala lelaki itu lebih keras. Ia ingin membantu agar mulut itu terbenam di dalam vaginanya ketika ia mengeluarkan 'pipisnya'.

Lidah Theo telah merasakan bibir dan dinding vagina itu berdenyut-denyut. Ia pun dapat merasakan hisapan lembut di lidahnya, seolah vagina itu ingin menarik lidahnya lebih dalam. Sejenak, ia mengeluarkan lidahnya untuk menjilat dan menghisap bibir vagina mungil itu. Dikulumnya berulang kali. Bibir vagina itu terasa hangat dan sangat halus di lidahnya. Ia menyelipkan lidahnya kembali ketika menyadari bahwa tak ada lagi cairan lendir yang tersisa di bibir luar. Dijilatinya kembali dinding dan bibir dalam vagina gadis remaja itu.

"Theo, Theoo.., Debby nggak tahan lagi. Debby ingin pipiis!"

Theo semakin bersemangat menjilat dan menghisap-hisap. Lidahnya yang rakus seolah belum terpuaskan oleh lendir yang telah dihisapnya. Kumisnya sesekali menyapu bibir uar vagina yang segar itu, membuat pinggul gadis itu terhentak-hentak di atas sofa. Walaupun kepalanya terperangkap dalam jepitan paha dan betis, tetapi ia dapat merasakan setiap kali pinggul gadis itu terangkat dan terhempas. Berulang kali hal itu terjadi. Terangkat dan terhempas kembali. Sesekali pinggul itu menggeliat menyebabkan kumisnya menjadi basah.

Ia dapat memastikan bahwa dalam hitungan detik sejumput lendir orgasme akan mengalir ke kerongkongannya. Dan ketika merasakan rambutnya dijambak semakin keras diiringi dengan pinggul yang terangkat menghantam wajahnya, ia segera mengulum klitoris gadis itu. Dikulumnya dengan lembut seolah klitoris itu adalah sebuah permen cokelat yang hanya mencair bila dilumuri air ludah. Sesekali dihisapnya disertai tarikan lembut hingga klitoris itu hampir terlepas dari bibirnya. Ketika merasakan pinggul gadis itu agak berputar, dijepitnya klitoris itu dengan kedua bibirnya agar tak lepas dari hisapannya.

"Debby pipis, Theoo! Aargh.. Aarrgghh..!"

Theo menjulurkan lidah sedalam-dalamnya. Bahkan ditekannya lidah dan kedua bibirnya agar terperangkap dalam jepitan bibir vagina itu. Ia tak ingin kehilangan kesempatan mereguk cairan orgasme langsung dari vagina seorang gadis remaja yang cantik dan seksi. Cairan orgasme yang belum tentu ia dapatkan dari murid lainnya. Setelah mencicipi rasa di ujung lidahnya, dihisapnya cairan itu sekeras-kerasnya. Direguknya lendir itu dengan lahap. Lalu dibenamkannya kembali hidungnya di antara celah bibir vagina yang berdenyut-denyut itu.

Ia ingin menghirup aroma paling pribadi yang dimiliki seorang gadis belia. Dengan gemas, ia menghirup aroma itu dalam-dalam. Dan ketika merasakan pinggul gadis itu terhempas kembali ke atas sofa, Theo menjilati vaginanya. Setetes lendir pun tak ia sisakan! Bahkan lendir yang membasahi bulu-bulu ikal dan bulu-bulu halus di sekitar vagina gadis itu pun dijilatinya. Bulu-bulu itu jadi merunduk rapi seperti baru selesai disisir!

"Theo.., ooh, aarrgghh.., Theo! Enak banget, Theoo..! Aargh.., pipis Debby kok diminum?" desah gadis itu terbata-bata sambil mengusap-usap rambut Theo. Setelah menjilati vagina Debby hingga bersih, Theo menengadah.
"Pipis Debby enak banget! Kecut. Agak asin. Tapi ada manisnya!" jawabnya.
"Suka ya minum pipis, Debby?"
"Suka banget! Mau pipis lagi?"
"Hmm.." kata gadis itu dengan manja. Merajuk.
"Benar suka?" sambungnya.
"Suka! Ini tanda sayang dan suka," kata Theo sambil menunduk dan mengulum sebelah bibir luar vagina gadis itu.

Debby tertawa kecil. Senang. Bangga. Merasa dimanjakan. Tersanjung karena telah merasakan nikmatnya menjepit kepala guru matematikanya di pangkal pahanya. Nikmat yang baru pertama kali ia rasakan. Tapi tiba-tiba bola matanya terbuka lebar ketika melihat Theo membungkuk melepaskan celana sekaligus celana dalamnya dengan sekali tarikan. 
Dalam hitungan detik, celana itu teronggok di atas karpet. Dan ia bergidik melihat batang kemaluan gurunya. Batang kemaluan berwarna cokelat. Panjangnya kira-kira 15 cm. 
Batang kemaluan itu hanya berjarak setengah meter dari matanya. Dan karena baru pertama kali melihat kemaluan lelaki, gadis remaja itu terkesima. Kelopak bola matanya terbuka lebar ketika ia mengamati urat-urat berwarna biru kehijauan yang terlihat menghiasi kulit batang kemaluan itu.

Theo menarik pinggul Debby hingga sedikit melewati pinggir sofa. Lalu ia mengarahkan batang kemaluannya ke vagina gadis itu. Debby tekejut. Dengan refleks ia menarik pinggulnya.

"Debby masih virgin, Theo," katanya setengah berbisik. Nadanya memelas.

Theo terpana mendengarnya. Sejak awal mencumbuinya, ia memang sudah menduga bahwa gadis itu masih perawan. Terutama karena ia merasakan celah yang sangat sempit ketika menyusupkan lidahnya di antara bibir vagina gadis itu. Tapi bila mengingat keberaniannya menggoda dengan cara merenggangkan kedua lututnya, ia menjadi ragu-ragu. Apalagi karena muridnya itu berani bersekolah tanpa celana dalam. Setelah menarik nafas panjang, diraihnya lengan kanan gadis itu.

"Aku tak akan melakukan hal-hal yang tidak Debby sukai. Aku pun tak akan menyakitimu," katanya dengan raut wajah tulus.
"Tapi adik kecil ini sedang menderita, Debby," sambungnya sambil menunjuk batang kemaluannya yang terangguk-angguk.
"Debby elus-elus ya. Kalau dibiarin, kasihan..!"

Lalu diletakkannya telapak tangan gadis itu di batang kemaluannya. Debby terkejut merasakan panas yang mengalir dari batang kemaluan itu ke telapak tangannya. Sejenak ia terlihat ragu. Ia menarik lengannya, tetapi Theo meraih dan meletakkannya kembali ke batang kemaluannya. Akhirnya batang kemaluan itu digenggamnya sambil menengadah menatap wajah lelaki yang disayanginya itu. Tak lama kemudian, ia menunduk kembali untuk mengamati batang kemaluan dalam genggamannya.

"Sesekali agak diremas seperti begini," kata Theo mengajari.
"Dan sesekali dimaju-mundurkan seperti ini," sambungnya sambil menggerakkan tangan gadis itu maju-mundur.

Debby mulai mengelus-elus. Ada sensasi yang menggelitik dirinya ketika merasakan kehangatan batang kemaluan itu di ujung jari-jari tangannya. Ia mendekatkan wajahnya untuk mengamati urat-urat berwarna kehijauan yang semakin menggelembung di ujung jarinya. Lalu ia mulai menggenggam dan memaju-mundurkan telapak tangannya. Dan ketika mendengar lelaki itu menarik nafas panjang, ia menengadah.

"Kenapa? Sakit?"
"Enak!"
"Enak?!"
"Enak banget! Apalagi kalau pakai dua tangan."
"Begini?" tanya gadis itu sambil menggenggamkan kedua telapak tangannya.
"Ya, ya, begitu, oohh!"

Debby menjadi bersemangat. Ia merasa senang karena dapat memberikan sesuatu yang menyenangkan kepada gurunya itu. Ia ingin membalas kenikmatan yang telah ia dapatkan. Apalagi sikap lelaki itu penuh pengertian. Tak ada sikap memaksa ketika ia mengatakan bahwa ia masih virgin. Ia hanya diminta untuk mengelus-elus dan sesekali meremas batang kemaluan itu. Oleh karena itu, tangannya mulai digerakkan maju dan mundur, dari leher batang kemaluan hingga ke pangkalnya. Wajahnya semakin mendekat karena ia ingin mengamati cendawan yang menghiasi batang kemaluan itu. Cendawan yang semakin lama semakin berwarna merah tua. Dielus-elusnya pula cendawan itu dengan ujung jari jempolnya.

"Ooh.., nikmat, Sayang!"
"Kalau diremas seperti ini, nikmat nggak?" tanya gadis itu sambil meremas biji kemaluan Theo.
"Ooh, ya, ya!" sahut Theo sambil meletakkan kedua belah telapak tangannya di atas kepala gadis itu.

Lalu dengan tarikan yang sangat lembut, ia menarik kepala itu agar semakin mendekat ke batang kemaluannya. Debby tidak menolak tarikan lembut di kepalanya karena batang kemaluan itu terlihat sangat indah dan menarik. Ia pun dapat merasakan batang kemaluan itu berdenyut di telapak tangannya, seperti bernafas. Ada sensasi yang mulai menggelitiki saraf-saraf birahi di sekujur tubuhnya ketika ia mengamati batang kemaluan itu. Sensasi itu membuat ia tak menyadari bahwa batang kemaluan yang digenggamnya hanya tinggal berjarak kira-kira 20 cm dari mulutnya.

"Theo, ada sedikit pipis di lubang ini."
"Bukan pipis sayang. Itu lendir enak."
"Enak?"
"Ya, enak!" jawab Theo sambil memegang jari jempol yang baru saja mengusap-usap lubang kemaluannya.
"Coba deh dicicipi," sambungnya.
"Hmm.." gumam Debby ketika menjilat ujung jarinya.
"Enak 'kan?!"
"Enak!"
"Cicipi lagi! Jangan pakai jari. Langsung pakai lidah!"

Debby menengadah. Ia sangat ingin menyenangkan hati gurunya itu, tetapi ragu-ragu untuk melaksanakannya. Sesaat, ia manatap bola mata lelaki yang disayanginya itu. Dilihatnya binar-binar ketulusan cinta. Tak ada tersirat niat untuk menyakiti. Lalu ia menunduk dan mendekatkan bibirnya ke bagian tengah cendawan itu. Lidahnya terjulur dan ujungnya mengoles sisa lendir yang masih tersisa. Sambil memejamkan mata, ia mencicipinya.

"Enak 'kan?!" Debby menengadah kembali. Ia mengangguk sambil tersenyum malu.
"Sekarang dicium dan dijilat-jilat biar lendirnya keluar lagi! Dan jangan terkejut kalau nanti tiba-tiba ada segumpal lendir yang muncrat ya, Sayang."

Debby menunduk kembali, dan tanpa keraguan lagi dikulumnya cendawan itu. Leher kemaluan itu dijepitnya dengan bibirnya sambil mengoles-oleskan lidahnya.

Theo mendesah. Setelah menghirup udara yang memenuhi rongga dadanya, ia menunduk. Matanya berbinar menatap takjub. Nafasnya tertahan menatap seorang gadis belia yang cantik dan seksi sedang berjongkok sambil menghisap-hisap dan mengulum kepala batang kemaluannya. Darahnya mendidih menatap gadis yang berjongkok dengan gaun bagian atas dan bawah bertumpuk terlipat-lipat di pinggangnya yang ramping. Matanya nanar menatap buah dada yang belum sepenuhnya mekar. Sejuta pesona ia rasakan melihat seorang gadis yang sedang berjongkok di hadapannya dengan paha terkangkang. Indah sekali!

"Argh.., aduuhh..!" desah Theo sambil menekan bagian belakang kepala gadis itu lebih keras. Setengah batang kemaluan telah masuk ke dalam mulut mungil itu.

Debby menengadah karena mendengar desahan itu. Ia merasa khawatir karena giginya menggesek kulit kemaluan yang sedang dikulumnya. Tapi lelaki yang telah memberinya kenikmatan itu ternyata hanya meringis. Ia masih menengadah ketika merasakan lagi tekanan di bagian belakang kepalanya, tekanan yang membuat ia menelan batang kemaluan itu lebih dalam.

Theo mengusap-usap rambut gadis remaja itu. Perlahan-lahan, ditariknya kemaluannya hingga hanya cendawan kemaluannya yang masih tersisa. Dan dengan perlahan-lahan pula, didorongnya kembali batang kemaluannya. Diulangnya gerakan itu beberapa kali sambil mengamati bibir mungil yang melingkari batang kemaluannya. Setelah yakin bahwa gadis itu telah terbiasa dengan gerakan batang kemaluannya, tiba-tiba didorongnya lagi dengan keras hingga bibir mungil itu menyentuh bulu-bulu di pangkal kemaluannya.

Debby terkejut. Nafasnya terhenti sesaat. Ia tersendat karena ujung batang kemaluan itu menyentuh kerongkongannya. Sebelum ia sempat meronta, dengan cepat batang kemaluan itu telah bergerak mundur kembali.

"Nggak apa-apa 'kan sayang," kata Theo membujuk sambil mengusap-usap pipi gadis remaja itu.

Debby ingin mengatakan 'jangan ulangi', tapi kata-kata itu tak terucapkan karena cendawan itu masih tersisa di bibirnya. Ia menengadah. Sejenak mereka saling tatap. Dan ia melihat sorot mata yang memancarkan kenikmatan birahi, seolah memohon untuk dipuaskan.

Karena merasa tak tega untuk menolak, kembali cendawan itu dihisapnya. Mungkin karena aku belum terbiasa, katanya dalam hati. Akhirnya ia memutuskan untuk memberi kenikmatan total. Kenikmatan sebesar kenikmatan yang telah ia dapatkan. Bila mungkin, ia akan memberi melebihi dari apa yang telah ia nikmati. Percintaan yang membara adalah percintaan yang pasrah dalam memberi, bisik hatinya. Percintaan yang lebih mementingkan kenikmatan pasangannya dari pada kenikmatan dirinya sendiri. Dan ia akan pasrah memberi agar guru yang disayanginya itu dapat pula meraih puncak kenikmatannya.

Lalu batang kemaluan itu dikeluarkannya dari mulutnya. Ia ingin totalitas. Oleh karena itu, beberapa detik kemudian, ia mulai menjilati batang kemaluan itu hingga ke pangkalnya. Bahkan ujung lidahnya beberapa kali menyentuh biji kemaluan itu. Semakin sering lidahnya menyentuh, semakin keras pula didengarnya dengusan nafas lelaki yang disayanginya itu. Ketika merasakan jambakan lembut di kepalanya, tanpa ragu, dihisap-hisapnya biji kemaluan itu.

Ia semakin bersemangat karena merasakan erotisme yang luar biasa ketika batang kemaluan itu menggesek-gesek ujung hidungnya. Ada sensasi yang membakar pori-pori di sekujur tubuhnya ketika bulu-bulu di biji kemaluan itu bergesekan dengan lidahnya! Gesekan itu merangsang lidahnya melata ke arah bawah untuk mengecup dan menjilat-jilat celah sempit antara biji kemaluan dan lubang dubur.


"Aarrgghh..!" desah Theo ketika merasakan lidah muridnya itu menjilat-jilat semakin liar.

Bahkan ia mulai merasakan bibir gadis itu mulai mengisap-isap celah di dekat lubang duburnya. Sangat dekat dengan lubang duburnya! Dan sesaat ia berhenti bernafas ketika merasakan ujung lidah gadis itu akhirnya menyentuh lubang duburnya. Ia menggigil merasakan nikmat yang mengalir dari ujung lidah itu. Nikmat yang bahkan tidak pernah ia dapatkan dari isterinya.

Sebelumnya ia tidak pernah merasakan lidah menyentuh lubang duburnya. Apalagi lidah seorang gadis remaja yang cantik dan seksi. Matanya terbeliak ketika merasakan tangan gadis itu membuka lipatan daging di antara bongkah pantatnya. Hanya bagian putih di bola matanya yang terlihat ketika ia meresapi nikmatnya lidah gadis itu saat menyentuh lubang duburnya.

"Oorgh.., aarrgghh.. Nikmat, Sayang!" desah Theo sambil menggerakkan pinggulnya menghindari jilatan-jilatan di duburnya.

Ia sudah tak kuat menahan kenikmatan yang mendera tubuhnya. Cendawan batang kemaluannya sudah membengkak. Lalu ia mengarahkan batang kemaluannya ke mulut gadis itu.

"Aku sudah tak tahan, Debby!!" sambungnya sambil menghunjamkan batang kemaluannya sedalam-dalamnya.

Debby tersendat kembali ketika merasakan cendawan itu menyumbat kerongkongannya. Tapi sudah tidak menyebabkan rasa mual seperti ketika pertama kali tersendat. Dan ketika batang kemaluan itu bergerak mundur, ia mengisap cendawannya dengan keras hingga terdengar bunyi 'slurp'. Kedua telapak tangannya mengusap-usap bagian belakang paha lelaki itu.

Lalu ia kembali menengadah. Mereka saling tatap ketika batang kemaluan itu kembali menghunjam rongga mulutnya. Telapak tangannya ikut menekan bagian belakang paha lelaki itu. Kepalanya ikut maju setiap kali batang kemaluan itu menghunjam mulutnya. Ia merinding setiap kali ujung cendawan itu menyentuh kerongkongannya.

"Aarrgghh.., Debby, aku sudah mau keluar. Mau pipis, aarrgghh..! Telan sayang. Telan lendir enaknya ya!"
"Hmm.." sahut gadis itu sambil mengangguk.

Theo semakin tegang setelah melihat anggukan itu. Sendi-sendi tungkai kakinya menjadi kaku. Nafasnya mengebu-gebu seperti seorang pelari marathon. Sebelah tangannya menggenggam kepala gadis itu, dan yang sebelah lagi menjambak. Pinggulnya bergerak seirama dengan tarikan dan dorongan lengannya di kepala gadis itu. Hentakan-hentakan pinggulnya membuat gadis itu terpaksa memejamkan matanya.

Batang kemaluannya sudah menggembung. Lendir berwarna putih susu terasa bergerak dengan cepat dari kantung biji kemaluannya. Ia berusaha untuk menahannya. Tapi semakin ia berusaha, semakin besar tekanan yang menerobos saluran di kemaluannya. Akhirnya ia meraung sambil menghunjamkan batang kemaluannya sedalam-dalamnya. Berulang kali. 
Ditariknya, dan secepatnya dihunjamkan kembali.

"Aarrgghh.., aduuh! Aarrgghh..!" raung Theo sekeras-kerasnya ketika ia merasakan air maninya muncrat 'menembak' kerongkongan gadis itu.

Sesaat ia merasa kejang. Dibiarkannya batang kemaluannya terbenam. Tangannya mencengkeram kepala gadis itu dengan keras karena tak ingin kepala itu meronta. Ia tak ingin kepala itu terlepas ketika ia sedang berada pada puncak kenikmatannya. Keinginan itu ternyata menjadi kenikmatan ekstra, yaitu kenikmatan karena 'tembakannya' langsung masuk ke kerongkongan gadis itu. 'Tembakan' itu akan membuat kerongkongan itu agak tersendat sehingga air maninya akan langsung tertelan. Setelah 'tembakan' pertama, ia masih merasakan adanya tekanan air mani di saluran lubang kemaluannya. Maka dengan cepat ia menarik batang kemaluannya, dan menghunjamkannya kembali sambil 'menembak' untuk yang kedua kalinya.

"Hisap sayang, aarrgghh..! Aarrgghh..!"

Ditariknya kembali batang kemaluannya. Tapi sebelum kembali menghunjamkannya, ia merasakan gigitan di leher batang kemaluannya. Ia pun berkelojotan ketika merasakan gigitan itu disertai kuluman lidah. 'Tembakan' kecil masih terjadi beberapa kali ketika lidah gadis itu mengoles-oles lubang kemaluannya.

"Ooh.., nikmatnya!" gumam Theo sambil membelai-belai kedua belah pipi gadis itu. Belaian mesra yang mengalir dari lubuk hatinya yang paling dalam. Belaian ungkapan kasih sayang dan tanda terima kasih!

Sambil menengadah dan membuka kelopak matanya, Debby terus mengulum dan menjilat-jilat. Tak ada lendir berwarna susu yang mengalir dari sudut bibirnya. Tak ada setetes pun yang menempel di dagunya. Dan tak ada pula lendir yang tersisa di cendawan kemaluan Theo! Bersih. Semua ditelan! Gadis belia itu 'membayar' tuntas kenikmatan yang ia dapatkan sebelumnya!

Tak lama kemudian, Theo menghempaskan pinggulnya ke atas karpet. Ia merasa sangat lemas. Lunglai. Ia tak mampu berdiri lebih lama lagi. Debby tersenyum puas. Ia pun bangkit dari sofa, dan kemudian duduk di pangkuan Theo. Kedua belah kakinya melingkari pinggang lelaki yang masih terengah-engah itu. Posisi duduknya menyebabkan vaginanya persentuhan dengan batang kemaluan yang mulai mengkerut. Terasa hangat dan mesra.

"Puas?" tanya gadis itu.
"Puas banget!" jawab Theo.
"Enak lendirku?" sambungnya.
"Enak banget!"
"Mau lagi?"
"Ha?!" jawab Debby sambil mencubit pipi Theo dengan manja.
"Kapan-kapan ya, kita nabung dulu."
"Nabung apaan?"
"Nabung pipis!"

Dan mereka serentak tertawa. Renyah. Lalu saling berangkulan dengan mesra. Pipi mereka saling bersinggungan. Kedua belah tangan membelai-belai punggung pasangannya. Kemudian masing-masing berbisik langsung ke telinga pasangannya.

"Theo suka pipis Debby!"
"Debby suka pipis Theo!"

Villa itu terletak di bagian tengah sebidang tanah perbukitan yang luasnya hampir 2 hektar. Dari jauh, villa itu terlihat asri karena dinding luarnya dihiasi dengan batu-batu pualam dan marmer serta beberapa ornamen kayu jati. Di bagian depan dan belakang, berbatasan dengan villa-villa di sekitarnya, tumbuh beberapa pohon pinus yang lebat. Tingginya mencapai 4 hingga 5 meter. Halaman di sekelilingnya terlihat hijau karena ditumbuhi oleh rumput yang terpangkas rapi. Beberapa batu alam berwarna abu-abu dan cokelat tua dengan berbagai bentuk dan ukuran tergeletak menghiasi halaman yang luas itu. Di pojok belakang sebelah barat terdapat sebuah rumah kecil yang dihuni oleh penjaga villa.

Bangunan villa itu tidak terlalu besar. Di lantai 1 hanya ada sebuah kamar tidur utama serta sebuah ruang keluarga dan dapur. Sedangkan di lantai 2 ada dua buah kamar tidur dan ruang kosong yang tembus hingga ke lantai 1. Tak banyak furniture yang melengkapi villa mungil dan mewah itu. Dan hampir semuanya terbuat dari kayu jati berukir. Berbagai bentuk ukiran terasa mendominasi isi villa. Termasuk bingkai cermin berukuran besar yang menempel pada dinding kamar tidur utama. Nuansa artistik terasa sangat menonjol di dalam dan luar villa.

Debby baru saja tiba di villa itu kira-kira 10 menit yang lalu. Setelah meletakkan tasnya di teras dan memberi beberapa instruksi kepada lelaki tua penjaga villa, ia segera melangkah ke kamar tidur depan di lantai 2. Ditanggalkannya celana jeans dan t-shirt yang dipakainya sejak dari Jakarta. Sambil berdiri di depan cermin, dikenakannya sebuah kimono. Sejenak, ia ragu melilitkan tali kimono itu di pinggangnya. Tapi akhirnya, sambil ditanggalkan pula. Ia tersenyum ketika mengikat tali kimono itu. Senyum yang menyimpan sebuah rencana, dan sekaligus senyum untuk dirinya sendiri karena tak ada lagi yang tersembunyi di balik kimono itu.

Debby berdiri di balkon depan yang menghadap ke timur. Sejak kecil ia suka menghabiskan waktunya di balkon itu. Terutama bila sore hari, ia suka menatap embun tipis yang perlahan-lahan turun dari atas dan mulai bertebaran di halaman. Embun itu kadang-kadang sirna tertiup angin tetapi kadang-kadang angin bertiup mendorong segerombol embun yang sebagian di antaranya tersangkut di daun-daun pohon pinus. Kira-kira satu jam kemudian, ketika sore berubah menjadi senja, embun tipis berwarna putih itu mulai menyelimuti pucuk-pucuk pinus. Diam tak beranjak. Hanya beberapa gerombol di atas rumput yang terlihat masih bergerak tertiup angin. Dan ketika senja sirna, lampu-lampu taman yang bertebaran di halaman pun tak berdaya mengusir embun yang menyelimuti villa dan sekelilingnya.

Debby melirik jam tangannya. Hm, kurang lebih setengah jam lagi Theo akan tiba, katanya dalam hati. Setiap kali menyebut nama lelaki itu jantungnya terasa berdebar. Walau lelaki itu 15 tahun lebih tua dari usianya, tetapi ia merasa sangat nyaman bila berada di dekatnya. Lelaki yang selalu memanjakannya, yang berani membantah tetapi bila terus didesak akhirnya akan menuruti kemauannya. Ia tersenyum dikulum, 'Theo memang selalu memperlakukanku seolah aku adalah satu-satunya benda berharga baginya' gumam gadis remaja itu. Kemudian ia teringat beberapa peristiwa 'nakal' yang membuatnya merasa sangat dimanjakan.

Saat itu mereka sedang menikmati santap malam di sebuah restoran yang terkenal dengan sajian 'rib roast'-nya. Mereka duduk berdampingan pada sebuah meja yang posisinya di sudut dan menghadap ke bagian tengah restoran. Sesekali mereka terpaksa berbisik untuk mengalahkan suara musik dan lagu-lagu merdu Frank Sinatra. Ketika ia menggigit rib yang terakhir, setetes kecap jatuh ke lututnya. Ia memang sengaja tidak menggunakan serbet untuk menutupi pahanya. Sejak merasakan nikmatnya lidah Theo saat menjilati paha dalam dan pangkal pahanya, ia selalu menggunakan rok mini yang bagian bawahnya lebar. Ia selalu ingin memperlihatkan sepasang pahanya yang mulus. Bila duduk, rok mini itu semakin tertarik sehingga hanya kira-kira 10 cm saja yang menutupi pahanya. Ia tidak khawatir akan 'ditonton' tamu-tamu lainnya karena ada taplak meja yang menghalangi, taplak yang menjuntai hingga hampir menyentuh lantai.

"Theo, jangan dilap pakai tissue," katanya ketika melihat Theo menjumput selembar tissue.
"Jadi pakai apa, Sayang."
"Pakai lidah yang suka 'mimik' pipis Debby!", bisiknya manja.

Theo tertegun. Ditatapnya mata gadis belia itu seolah sedang mencari ketegasan atas kalimat yang baru saja didengarnya. Ia pun terkesima mendengar kata 'mimik'. Kata yang lebih mesra sebagai pengganti kata 'minum'. Selintas ia teringat ketika pertama kali mencumbui vagina gadis itu. Sangat sulit dilupakannya kehangatan yang mengalir dari bibir vagina gadis itu ketika menjepit lidahnya. Jepitan yang disertai enyutan-denyutan vagina yang hampir mencapai orgasmenya. Denyutan-denyutan yang membuat ia semakin rakus menghisap-hisap lendir di vagina itu. Dan tak lama kemudian, ia merasakan segumpal lendir orgasme mengalir membasahi kerongkongannya. Dan setelah menjilati bibir luar vagina gadis itu hingga bersih, ia mendengar gadis belia itu bertanya dengan polos.

"Kok pipis debby diminum?"
"Kok bengong, Theo. Nggak mau ya?"
"Kamu memang nakal dan kadang-kadang keterlaluan."
"Udah nggak sayang sama Debby, ya!"
"Sayangnya tetap selangit. Tapi ini di restoran. Di tempat umum!"
"Biarin!" kata gadis itu setengah merajuk.
"Entar dilihat orang lain. Malu 'kan kalau ketahuan."
"Biarin!"
"Biarin?"
"Paling juga mereka jadi iri. Yang laki-laki ingin jadi Theo, yang perempuan ingin jadi Debby!" jawab gadis itu sambil tertawa kecil. Tawa yang menggemaskan!

Sekilas, Theo memandang ke sekeliling ruangan. Tak ada tamu yang sedang memandang ke arah mereka. Pelayan-pelayan restoran pun terlihat sibuk melayani tamu-tamu. Dadanya berdebar-debar. Hatinya terpancing untuk mencoba. Lalu dengan cepat ia menunduk dan menjilat. Dan dengan cepat pula ia mengangkat kepalanya kembali. Jantungnya masih berdebar-debar ketika pandangannya menyapu sekeliling ruangan. Tak ada perubahan. Tak ada seorang pun yang memandangnya!

Debby tertawa kecil. Dicubitnya pinggang guru matematikanya itu dengan manja. Sejenak mereka saling tatap, kemudian serentak tertawa renyah. Tak lama kemudian, gadis belia itu sengaja mengerak-gerakkan kakinya. Sesekali sebelah kakinya agak diangkat hingga roknya yang mini semakin tersingkap. Ia semakin bersemangat menggerak-gerakkan kakinya ketika memergoki Theo tertegun menatap keindahan pahanya. Gerakannya baru berhenti setelah ujung roknya tersangkut di pangkal paha. Ia merasa yakin bahwa G-string yang dipakainya telah terlihat mengintip dari pangkal pahanya.

"Kelihatan nggak?"
"Sedikit!"
"Warna apa?"
"Pink!"
"Suka?"
"Suka banget!"
"Cium dong!"
"Ha?! Di sini?"
"Hmm!!"

Jantung Theo kembali berdebar-debar. Tantangan, katanya dalam hati. Tantangan dari seorang gadis belia yang cantik, seksi, masih perawan, dan sekaligus nakal! Itulah salah satu sebab yang membuat ia selalu ingin memanjakan gadis itu. Ide-idenya yang nakal kadang-kadang menciptakan sensasi. Menciptakan gairah untuk menaklukkan tantangan yang disodorkannya. Ia memang belum pernah melakukan hal itu. Dan ia pun yakin bahwa gadis itu -dalam keramaian publik- belum pernah mendapat ciuman di pangkal pahanya. Ia menarik nafas panjang dan berusaha menenteramkan debar-debar jantungnya. Sekilas, ia kembali memandang tamu-tamu di sekelilingnya. Setelah yakin tak ada yang memperhatikan, ia menunduk dan mengecup G-string dari sutera itu. Kecupan yang persis di belahan bibir vagina!

Debby menggelinjangkan pinggulnya. Ia hampir memekik. Tapi karena jari-jari tangannya segera menutupi mulutnya, pekikan itu hanya terdengar lemah. Suara pekikan itu tersangkut di lehernya.

"Suka?" tanya Theo sambil mengangkat kepalanya.
"Suka banget! Nikmat dan mendebarkan!"
"Mau lagi?"
"Entar ketahuan."
"Biarin!" jawab Theo sambil tersenyum.
"Benar?"
"Hmm!"
"Tapi mata Theo harus tertutup. Dan setelah dikecup, dijilat ya," bisik gadis itu. 
Theo terdiam sejenak, lalu bertanya..
"Kok harus menutup mata?"
"Tentu ada alasannya."
"Kalau hanya mengecup dan menjilat, aku pasti mau."
"Kalau matanya nggak tertutup, Debby yang nggak mau!" kata gadis itu merajuk manja. Theo terdiam kembali. Tapi tak lama kemudian ia menjawab..
"OK," katanya sambil mengangguk. 
Gadis itu tersenyum manis.
"Lihat ke Debby dan tutup matanya. Biar Debby yang mengawasi mereka," katanya sambil menolehkan kepalanya ke arah tamu-tamu di restoran itu."Nanti kalau Debby bilang 'cium' baru menunduk ya." sambungnya sambil membuka kedua lututnya lebih lebar. Lutut sebelah kirinya agak diangkat agar pangkal pahanya cukup terbuka untuk menampung sebuah kepala.
"OK." jawab Theo sambil memejamkan matanya. Tak lama kemudian, ia mendengar bisikan di telinganya..
"Sekarang cium, Theo!"

Dengan cepat Theo menunduk. Ia merasakan jari-jari tangan gadis itu menekan bagian belakang kepalanya, menuntun agar bibirnya mendarat di tempat yang tepat. Dan.., sejenak ia terkesima setelah bibirnya mendarat di pangkal paha gadis itu. Aroma yang sudah sangat dikenalnya tiba-tiba terasa langsung menyergap lubang hidungnya. Tapi karena khawatir bila harus menunduk terlalu lama di balik meja, ia segera mencium pangkal paha gadis itu. Ia sangat terkejut karena bibirnya bersentuhan langsung dengan bibir vagina yang lembut. Vagina yang hangat dan sedikit lembab.

Secara bergantian, dengan cepat, dikulumnya kedua bibir luar vagina itu. Lalu dijulurkannya lidah untuk menjilat celah sempit di antara ke dua bibir itu. Lidahnya segera tenggelam dalam kehangatan yang licin. Jilatannya tajam seperti mata pisau yang mengiris mentega. Dan.., seolah ada alarm berbunyi di telinganya ketika ia merasakan tarikan rambut di bagian belakang kepalanya. Ia segera mengangkat wajahnya sambil membuka mata. Sebelum kepalanya benar-benar tegak, ia masih sempat melihat jari telunjuk gadis itu melepaskan tarikan tepi G-stringnya agar vaginanya tertutup kembali.

Sejenak mereka saling tatap. Di bola mata mereka tersirat binar-binar birahi. Dan sambil tertawa kecil, keduanya berangkulan dengan mesra!

Debby masih berdiri di balkon. Tatapannya menerawang jauh dan terbentur pada lampu-lampu villa-villa di sekitar villanya. Ia menarik nafas panjang. Udara segar yang bertiup di sekitar Puncak Pass terasa sejuk memenuhi rongga dadanya. Hembusan udara mulai terasa dingin di kulitnya. Tapi ia menyukai dinginnya udara itu, terutama ketika berhembus menerpa bagian bawah pusarnya. Pangkal pahanya terasa sejuk. Dinginnya udara meredakan letupan-letupan gairah yang sempat memanas ketika ia teringat pada ciuman dan jilatan Theo di restoran rib roast itu.

Debby kembali melihat jam tangannya. Tak lama lagi Theo akan tiba, katanya dalam hati. Semakin dekat waktu yang telah mereka sepakati, semakin gelisah ia menunggu. Ia merasa lebih gelisah daripada biasanya karena ia sudah memutuskan bahwa malam itu ia akan mengucapkan "selamat tinggal masa remaja!" Dan itu akan ia ucapkan tepat ketika ia berusia 17 tahun. Usia untuk menjadi seorang wanita! Masih terbayang dalam ingatannya raut wajah Theo yang terlihat bingung ketika menerima denah jalan menuju villa. Raut wajah itu semakin bingung ketika ia mengatakan, "Nanti malam, di villa, Debby akan memberikan sebuah hadiah yang sangat istimewa."

Sebenarnya ia telah membuat keputusan itu beberapa hari yang lalu. Bahkan ingin memberikannya pada saat itu juga. Tapi karena hari ulang tahunnya yang ke-17 tinggal beberapa hari lagi, ia memutuskan untuk menundanya. Ia tahu bahwa Theo akan merasa sangat berbahagia menerima hadiah itu. Ia sadar bahwa lelaki yang selalu memanjakannya itulah orang yang paling tepat dan berhak untuk mendapatkan hadiah itu. Lelaki yang dengan kedua bibirnya dapat membuatnya menderita dalam rintihan nikmat. Lelaki yang telah memberikan arti nikmatnya sebuah cumbuan di pangkal pahanya. Lelaki yang lidahnya menari-nari pertama kali di vaginanya kira-kira sebulan yang lalu, yang kemudian secara rutin seminggu dua kali selalu 'mimik' pipis enak dari pangkal pahanya. Lelaki yang selama sebulan telah bersabar mencumbu dan dicumbu hanya dengan bibir dan lidah.

'Theo memang lelaki yang sabar dan penuh perhatian', gumamnya ketika teringat pada cendawan di ujung batang kemaluan Theo. Seolah masih terasa lembutnya cendawan itu menyusup ke dalam rongga mulutnya. Cendawan yang terasa mengalirkan kehangatan ketika menyentuh kerongkongannya, yang membuat ia tersendat dalam nikmat, yang membuat rasa dahaganya sirna setelah mendapatkan 'mimik' pipis enak dari batang kemaluan itu, dan yang membuatnya terpejam ketika segumpal lendir panas tiba-tiba 'menembak' kerongkongannya.

Gadis remaja itu tersenyum manis ketika melihat cahaya lampu mobil yang mendekati villanya. Tergopoh-gopoh ia menuruni tangga ke lantai 1 dan setengah berlari menuju halaman. Langkahnya yang cepat membuat pahanya yang berwarna kuning gading sesekali menyembul dari belahan kimono yang pakainya. Segera dipeluknya pinggang lelaki itu. Pelukannya yang sangat ketat seolah menunjukkan kerinduan yang mendalam. Padahal mereka baru berpisah beberapa jam yang lalu.

Theo menggamit dagu gadis remaja itu, membuat wajahnya yang cantik menengadah. Lalu ia menunduk dan menggosok-gosokkan hidungnya ke ujung hidung gadis itu. Dalam keremangan cahaya lampu neon di teras, bibirnya memagut bibir gadis itu. Dikulumnya bibir mungil itu dengan penuh perasaan. Ia ingin menunjukkan rasa cintanya yang dalam. Dan ketika lidah gadis itu menjulur, lidah itu segera dipilinnya dengan lidahnya sambil dihisapnya dengan lembut.

"Kangen nggak?"
"Kangen banget, Sayang!" jawab Theo sambil mengecup leher jenjang gadis itu.
"Geli, Theo!"
"Oh ya. Kalau yang ini..?" tanya Theo sebelum mengecup dan menjentikkan ujung lidahnya persis di bawah dagu.
"Enak..!"

Jawaban itu membuat Theo lebih bersemangat menciumi leher gadis itu. Sesekali lidahnya menjulur menjilat hingga membuat gadis itu beberapa kali mendongakkan kepalanya. Lalu ia merasakan kedua belah lengan yang merangkul pinggangnya berpindah ke lehernya, membuat buah dada gadis itu menempel ketat ke dadanya. Karena senang dan gemas, kedua telapak tangannya segera meremas bongkah pantat gadis itu. Bongkah pantat itu terasa kenyal karena belum sepenuhnya mengembang. Diremasnya berulang kali. Bahkan sambil meremas, bongkah pantat itu agak ditariknya ke atas agar ia tak perlu terlalu menunduk ketika menciumi leher.

Debby menyukai tarikan di bongkah pantatnya walau hal menyebabkan ia harus berjinjit. Tak lama kemudian, karena jari-jari kakinya mulai terasa kelu, ia menggantung di leher agar dapat melingkarkan kedua belah kakinya di pinggang lelaki itu. Tumitnya terpaksa menekan pinggul Theo ketika ia merasakan ciuman-ciuman basah merayap menuju buah dadanya. Ciuman yang membuat ia beberapa kali melengkungkan punggungnya ke belakang, memberi ruang yang lebih luas kepada lelaki itu untuk menciumi buah dadanya. Beberapa menit kemudian, tumitnya menekan lebih keras karena ia ingin mengangkat badannya lebih tinggi agar ciuman-ciuman itu segera mendarat di buah dadanya.

Theo menarik bongkah pantat gadis itu lebih tinggi setelah menyadari bahwa di balik kimono itu tidak ada bra yang menghalangi. Walau kimono itu belum sepenuhnya terbuka, bibirnya sudah tidak sabar untuk segera mengecup celah di antara kedua buah dada yang baru mekar itu. Lidahnya pun mulai merayap dari lekukan bawah hingga ke putingnya yang kecil. Semakin lama lidah itu bergerak semakin cepat. Menjilati bergantian. Buah dada kiri dan kanan. Dan ketika merasakan air liurnya telah membasahi kedua buah dada itu, ia segera mengulum putingnya yang kemerahan.

"Ooh..! Ooh.., Theo! Aarrgghh..!" desah Debby ketika merasakan puting dadanya digigit dengan lembut. Dan ketika bibir lelaki itu berpindah ke buah dada sebelahnya, lalu mengulum dan menjentik-jentikkan ujung lidah di putingnya, ia mengerang..
"Theoo..! Aargh.., enak!!" Tapi beberapa detik kemudian, ia mendorong kepala lelaki itu.
"Gendong ke atas dong, Theo," katanya sambil menunjuk ke arah balkon.

Debby tahu bahwa setelah menciumi buah dadanya, guru matematikanya yang tampan itu akan menciumi betis, lalu paha, dan pangkal pahanya. Dari beberapa cumbuan oral yang mereka lakukan sejak sebulan yang lalu, ia pun tahu bahwa kedua betisnya akan mendapat ciuman-ciuman basah bila cumbuan itu dilakukan di atas tempat tidur. Tapi kali ini ia menginginkan cumbuan yang agak berbeda. Sesuatu yang berbeda akan menciptakan sensasi yang berbeda pula, yang akan membuat tubuhnya menderita dalam kenikmatan berkepanjangan. Ia menginginkan ciuman dan jilatan basah merayap dari kedua betis hingga ke bibir vaginanya dilakukan ketika ia sedang berdiri di balkon villa! Walaupun sesungguhnya ia tak dapat memastikan apakah hangatnya jilatan-jilatan rakus di vaginanya akan mampu melawan dinginnya embun dan tiupan angin malam yang menerpa tubuhnya.

Ia merinding membayangkan kenikmatan akibat sensasi yang luar biasa itu. Merinding karena ia ingin mengalami orgasme dalam terpaan embun putih dan dinginnya angin malam! Suasana seperti itulah yang diinginkannya. Di satu sisi ia ingin merasakan dinginnya tiupan angin malam di sekujur tubuh, dan di sisi lain ia ingin merasakan hangatnya lidah yang terselip di bibir vaginanya. Sensasi yang luar biasa itu akan membuat tubuhnya kejang pada saat segumpal lendir orgasmenya akan langsung dihisap oleh lelaki yang dicintainya itu dengan rakus. Lendir orgasme yang tumpah ketika ia berdiri menggigil kedinginan dalam selimut embun malam!

Gadis itu merasa melayang ketika Theo menggendongnya menuju balkon. Vaginanya mulai terasa basah ketika lelaki itu menurunkan tubuhnya dengan hati-hati. Karena tali kimono yang melilit pinggangnya sudah kendur, angin malam yang dingin terasa langsung menerpa bagian depan tubuhnya. Ia mulai menggigil.

"Di sini?"
"Hmm!"

Debby menyandarkan punggungnya ke kusen pintu, lalu memandang ke sekelilingnya. Putih berkabut. Ia menoleh ke arah rumah penjaga villa di sudut barat, juga putih berkabut. Walaupun lampu neon di balkon tidak dimatikan, ia merasa yakin tidak ada orang yang dapat melihat mereka. Sambil tersenyum, diangkatnya kaki kirinya lalu meletakkan telapak kakinya di sandaran lengan kursi di sebelahnya. Bagian tengah kimononya, dari pinggang ke bawah menjadi terbelah dua.

"Di sini, Theo. Puaskan Debby di sini! Sepuas-puasnya, Sayang. Debby ingin malam ini menjadi malam yang tak terlupakan. Debby ingin pipis enak di sini. 'Mimik' ya Sayang. Kalau udah puas 'mimik', baru kita pindah ke dalam. Debby akan beri hadiah istimewa untuk Theo di kamar!"

Theo tertegun. Posisi gadis belia yang disayanginya itu sangat menantang, membuat ia tak mampu menjawab. Matanya nanar menatap keindahan kaki yang keluar dari belahan tengah kimono, yang lututnya tertekuk karena telapaknya menginjak lengan kursi. Mulutnya setengah terbuka ketika matanya menatap pangkal paha gadis itu. Terkesima. Ia baru menyadari bahwa tak ada celana dalam mini atau G-string yang menutupi pangkal paha itu. Dalam keremangan, masih dapat dilihatnya bulu-bulu ikal halus dan tipis di bagian atas vagina yang segar itu.

"Mau 'kan, Theo?"
"Akan kuturuti apa pun yang Debby inginkan," kata Theo sambil berlutut di hadapan gadis itu.

Dengan posisi berlutut, betis indah itu berada persis di sebelah pipi Theo. Dan dengan lembut diusap-usapkannya telapak tangannya ke betis itu. Semenit kemudian, dibelai-belainya betis itu dengan pipinya. Ia ingin merasakan kehalusan pori-pori betis itu di pipinya! Lalu ia mengecupnya. Mula-mula ia mengecup bagian bawah, tetapi semakin lama semakin naik ke arah belakang lutut. Mula-mula kecupannya kering, tetapi semakin mendekati belakang lutut, kecupannya semakin basah. Ketika bibirnya telah terselip di belakang lutut yang tertekuk itu, ia mengecup sambil mempermainkan ujung lidahnya.

"Geli, Theo!" kata gadis ketika ia merasakan kumis Theo menggelitik belakang lututnya.

Kedua belah tangannya mendekap dada untuk mengurangi dinginnya terpaan angin sekaligus untuk menahan agar belahan tengah kimononya tetap tertutup. Sebaliknya, ia mulai merasakan kehangatan di pangkal pahanya.

Theo memindahkan kecupannya ke betis yang sebelah lagi. Betis itu terasa lebih kenyal karena berat badan Debby bertumpu pada sebelah kaki. Dengan sabar, Theo mengecup kembali. Mengulangnya berulangkali. Dan kemudian mulai menjilat ke arah bawah. Sesekali ia mengecup dengan gemas, setengah menggigit.

Debby menunduk dengan mata terbuka lebar. Ia merasa senang dan tersanjung menatap guru matematikanya itu berlutut di antara kedua belah kakinya. Jantungnya berdebar-debar melihat lelaki yang sabar itu harus membungkuk agar dapat mengecup betisnya. Ia merasa senang dan tersanjung. Perasaan itu seolah membongkah dan memberi kehangatan di rongga dadanya. Membuat dirinya seolah melambung tinggi ke dalam dinginnya embun malam. Ia pun sangat menikmati hembusan nafas yang terasa hangat di betisnya. Setiap kali lelaki itu mengecup, seolah tersisa kehangatan di bekas kecupannya.

Theo mulai menciumi lutut bagian dalam. Sambil mencium, matanya menatap bibir vagina gadis itu. Walau terlihat samar, tetapi cahaya lampu neon di langit-langit balkon membuat bibir vagina tampak mengkilap. Pasti sudah ada sedikit cairan lendir yang terselip di antara bibir itu, katanya dalam hati. Lalu dengan cepat diterkamnya vagina yang segar itu. Lidahnya segera membelah, dan bibirnya segera mengisap. Setelah itu, dengan cepat pula ia menarik kepalanya menjauhi vagina itu. Hanya sedikit cairan lendir yang terhisap.

Debby memekik karena terkejut. Ia tak menduga Theo akan 'menerkam' vaginanya secepat itu. Walau hanya sekejap, dalam keterkejutannya, terkaman itu ternyata mampu mengalirkan kehangatan di sekujur tubuhnya. Mungkin karena terkejut, sekejap ia lupa pada dinginnya terpaan angin malam.

"Theo jahat! Nggak sabar ya?"
"Ingat, tak ada setetes pun yang terbuang!"
"Paha dulu!" kata gadis itu sambil mendorong kepala Theo ke arah pahanya.

Theo menatap keindahan paha yang terpampang di depannya. Paha itu terbuka lebar dan karena telapaknya terletak di atas sandaran lengan kursi, dengan mudah ia menciumi dan sesekali menjilatnya karena paha itu persis setinggi kepalanya. Kulit paha itu terasa dingin di bibirnya. Lalu diusapkannya wajahnya beberapa kali ke permukaan paha dalam yang mulus itu. Ia suka merasakan kemulusan paha itu di wajah dan pipinya. Semakin sering mengusap-usapkan wajah dan menciuminya, kulit paha itu terasa semakin hangat. Kedua belah telapak tangannya pun giat bergerak menyalurkan kehangatan. Tangan kirinya mengusap-usap paha kanan bagian luar, sedangkan telapak kanannya digunakan untuk mengusap-usap betis kiri gadis itu.

Debby sangat menyukai usapan-usapan telapak tangan Theo. Usapan-sapan itu mengurangi dinginnya terpaan angin malam. Bahkan kehangatan pun mulai terasa menjalar di bagian bawah perutnya ketika ia merasakan lidah Theo merayap mendekati lipatan antara paha dalam dan vaginanya. Ia merintih ketika bibir lelaki yang suka 'mimik' pipisnya itu menariki bulu-bulu halus di sekitar bibir vaginanya. Bulu-bulu itu masih terlalu pendek, masih sepanjang bulu alis mata sehingga bibir itu selalu gagal menariknya. Hal itu malah membuat vaginanya semakin basah. Setelah mengencangkan lilitan kimono agar belahan di bagian dadanya tidak terbuka, kedua lengannya segera jatuh di atas kepala lelaki itu. Ia menginginkan lidah hangat itu membelah bibir vaginanya.

"Theo, mimik dulu dong lendirnya," kata gadis itu sambil membuka bibir vaginanya dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Sejenak, Theo menghentikan ciuman-ciumannya. Ia menengadah sambil tersenyum, tak lama kemudian, ia kembali menciumi paha kiri gadis itu. Sengaja tidak diturutinya keinginan gadis itu.

"Theo, jahat!" kata gadis itu sambil menarik kepala Theo ke arah pangkal pahanya. Kedua tangannya menahan agar kepala itu tetap berada di pangkal pahanya. Dan ketika ia merasakan kehangatan lidah menyusup ke dalam vaginanya, ia merintih..

"Ooh, ooh.., enak Theo! Aarrgghh..!"

Tarikan nafasnya pun mulai tak teratur ketika lidah itu menjilati dinding dan bibir dalam vaginanya. Ia mendorong pinggulnya agar lidah itu masuk semakin dalam. Ia mulai lupa dan tak merasakan dinginnya angin malam. Biasanya, keadaan seperti itu membuat pori-pori di sekujur tubuhnya terbuka. Berkeringat. Tapi saat ini, tak ada setetes pun keringat di kulitnya. Pori-porinya tetap tertutup. Kenikmatan dan kehangatan nafas yang mendengus-dengus di vaginanya hanya mampu memberi kehangatan tetapi tak mampu membuatnya berkeringat. Dan ia menyukai hal itu! Sebuah sensasi yang membuat vaginanya semakin basah berlendir. Apalagi ketika merasakan lelaki itu mengisap lendir yang terselip di bibir dalam baginanya, ia merintih berulang kali..

"Argh..! Argh..! Theo, Oh nikmatnya, sstt, sstt.., aarrgghh..!" Ia menjadi lupa pada paha kirinya yang belum cukup banyak mendapat cumbuan.

Malam itu Theo merasakan sebuah perbedaan. Aroma segar kemaluan gadis itu tidak setajam biasanya. Mungkin karena aroma itu langsung tertiup angin malam. Karena rindu akan aroma itu, Theo menekan hidungnya ke celah sempit di antara bibir vagina gadis itu. Ditekannya sedalam-dalamnya sambil menghirup aroma yang sangat dirindukannya itu.

Debby terkejut merasakan hidung lelaki itu tiba-tiba menusuk lubang vaginanya. Ia menggelinjangkan pinggulnya. Menggelinjang dalam kenikmatan. Geli dan nikmat tiba-tiba terasa menusuk hingga ke jantungnya. Ia merintih-rintih berkepanjangan akibat dengusan nafas di dalam lubang vaginanya.

"Aarrgghh..! Aarrghh..! Ampun, Theo..! Aarrgghh.., aarrgghh..!" rintihannya semakin keras ketika merasakan kumis lelaki itu menyapu klitorisnya.
"Ampun, ampun.. Theo! Aarrgghh..! Debby mau pipiis!"

Tapi ia tak berusaha menghindari hidung itu. Ia bahkan memutar pinggulnya sambil menekan bagian belakang kepala lelaki itu. Ia tak ingin hidung itu tak lepas dari jepitan bibir vaginanya. Hal itu tak berlangsung lama. Ia hanya mampu memutar-mutar pinggulnya beberapa kali! Tiba-tiba saja ia merasakan adanya dorongan lendir orgasme yang tak mampu ditahannya. Dorongan itu terasa sangat kuat. Jauh lebih kuat daripada dorongan yang biasanya ia rasakan ketika mendekati puncak orgasmenya.

"Theo, Theo.., Debby mau pipis! Aarrgghh.., mimik!"

Theo mendengar rintihan itu. Tapi ia tak ingin menarik hidungnya. Ia tak peduli walaupun merasakan dua lengan memukul-mukul kepalanya dengan gemas. Ia telah terbius oleh aroma, kehangatan, kelembutan, dan kehalusan dinding vagina gadis remaja itu. Bahkan semakin diremas dan ditariknya kedua bongkah pantat gadis itu agar hidungnya semakin tenggelam ke dalam liang vagina yang segar itu.

Remasannya di bongkah pantat itu sangat kuat, membuat gadis itu hanya dapat merintih dan meronta-ronta. Dan tak lama kemudian, ia merasakan lendir hangat membasahi ujung hidungnya. Ia sangat senang merasakan kehangatan lendir itu. Lendir yang membasahi hidungnya ternyata membuat batang kemaluannya semakin tegang. Bengkak. Mungkin karena merasakan nikmat yang berbeda dari biasanya. Selama sebulan, telah berkali-kali ia rasakan orgasme gadis itu di ujung lidahnya. Tapi kali ini berbeda, ia merasakannya di ujung hidungnya!

Walaupun terasa agak sesak, Theo menarik nafas. Ia menghirup aroma yang sangat pribadi itu langsung dari bagian yang sangat dalam dan tersembunyi! Ia pun merasa sangat puas karena baru kali ini ia mendengar gadis cantik itu merintih-rintih minta ampun!

"Aarrgghh.., ampun! Ampun.., Debby pipiis!" rintih gadis itu sambil berusaha menarik pinggulnya agar hidung lelaki itu terlepas.

Ia tak mampu mengendalikan rasa nikmat dan geli yang bercampur menjadi satu di lubang vaginanya. Tapi remasan telapak tangan di bongkah pantatnya lebih kuat daripada tarikan pinggulnya. Akhirnya ia hanya merintih-rintih melepaskan lendir orgasmenya ketika hidung itu mendengus-dengus. Seluruh sendi-sendi di sekujur tubuhnya menjadi lunglai. Membuat ia pasrah dan berusaha agar tak terjatuh ke lantai.

Theo menarik hidungnya setelah merasakan lendir orgasme itu berhenti mengalir. Ia menengadah sambil tersenyum puas. Ia dapat melihat kenikmatan yang baru saja usai mendera gadis itu. Hal itu terlihat dari bola mata yang menatap hampa dan kelopak mata yang setengah terpejam.

"Theo jaa.. haatt.., Theo jahat! " kata Debby terengah-engah sambil meminjit hidung lelaki itu dengan jempol dan telunjuknya. Tapi jari itu terpeleset karena hidung itu masih dipenuhi lendir licin.
"Jahat!" ulangnya sambil memijit kembali."Oh ya?" sahut Theo sambil menunduk. Lalu ia mulai menjilati vagina yang masih berlepotan lendir itu.

Debby menggeliat ketika merasakan kembali lidah yang menjilati bibir luar vaginanya. Ia merasa lelah tetapi ia pun tahu bahwa ia tak dapat menghindar dari lidah yang selalu rajin membersihkan sisa-sisa lendir orgasme di terasa pegal, terutama tungkai kakinya yang menginjak lengan kursi. Ia tidak akan mendorong kepala itu menjauhi vaginanya. Percuma. Ia tahu bahwa lelaki yang selalu memanjakannya itu tak akan berhenti menjilati sebelum vaginanya benar-benar bersih. Selain itu masih ada hal yang belum ia dapatkan. Malam itu ia belum merasakan nikmatnya 'menumpahkan' lendir orgasmenya langsung ke dalam mulut yang terjebak di dalam vaginanya. Terjebak di bagian yang paling dalam dan tersembunyi. Belum merasakan nikmatnya 'menumpahkan' lendir orgasme langsung ke dalam bibir dan lidah yang menghisap-hisap vaginanya ketika dinginnya angin malam menerpa tubuhnya.

Ia menunduk sambil mengusap-usap rambut lelaki tampan yang masih rajin menjilati vaginanya. Kelopak matanya kembali terbuka. Bola matanya berbinar-binar menikmati pemandangan erotis di pangkal pahanya. Menikmati indahnya lidah yang menjulur dan menghilang dalam belahan bibir vaginanya. Lidah yang basah mengkilap ketika keluar dari lubang vaginanya. Tanpa sadar ia mendesah ketika lidah itu mulai mencari-cari sisa lendir di balik sekumpulan urat saraf yang menutupi klitorisnya. Ia menggeliat. Dan menggeliat lagi ketika merasakan klitorisnya dijentik-jentik dengan ujung lidah. Lalu diturunkannya telapak kaki kirinya dari lengan kursi. Setelah memindahkan berat badannya ke kaki kirinya, diangkatnya kaki kanannya dan diletakkannya pahanya di pundak lelaki itu. Ia menarik nafas lega merasakan kehangatan di bagian dalam pahanya, bagian yang menempel dengan pipi Theo.

"Nggak apa-apa 'kan, Sayang." kata gadis itu sambil mempermainkan jari-jari tangannya di rambut lelaki itu.

Ia terpaksa bertanya karena sebelumnya tidak pernah melakukan hal seperti itu. Tidak pernah berdiri sambil menjepit kepala di pangkal pahanya.Theo menengadah, lalu mengangguk.

"Puaskan Debby ya, Sayang. Sebentar lagi, mimik lagi ya." Theo mengangguk kembali sambil mengulum klitoris gadis remaja yang nakal itu.

Melihat anggukan kepala itu, Debby jadi lebih bersemangat untuk meraih puncak orgasmenya. Kedua tangannya segera menekan kepala lelaki itu agar semakin terdesak ke vaginanya. Satu tangan menekan bagian belakang kepala, dan yang sebelah lagi menjambak segenggam rambut. Posisi seperti itu membuatnya sangat bergairah. Kelopak matanya terbuka lebar menatap kepala yang pasrah di pangkal pahanya. Seolah kepala itu dipersembahkan sebagai alat untuk meraih puncak orgasmenya.

Walaupun vaginanya telah pernah beberapa kali dioral oleh guru matematikanya itu, tetapi ia belum pernah merasakan nikmatnya mengendalikan kepala itu di pangkal pahanya. Mengendalikan sesuka hatinya. Jantungnya berdebar-debar ketika ia mulai menggerak-gerakkan pinggulnya. Ia merasa lebih nikmat karena pinggulnya bebas bergerak sesuka hatinya. Ia pun merasa bebas untuk mengerak-gerakan kepala lelaki itu ke arah yang ia inginkan. Menekannya, mendorongnya, atau bahkan menariknya. Beberapa kali ia terpaksa menariknya sambil berjinjit karena kumis lelaki itu terasa menyentuh ujung atas belahan vaginanya.

"Argh..! Argh..!" rintihnya menahan nikmat yang mendera sekujur tubuhnya. Debby merasakan lendir yang semakin deras mengalir ke vaginanya.
"Mimik, Sayang," katanya sambil menekan pundak Theo dengan paha belakangnya.

Ia ingin lidah itu menyusup ke dalam vaginanya, menarik lendir dan mengisapnya. Ia merasa bahwa sebentar lagi ia akan mencapai puncak orgasmenya. Ia ingin merasakan kelembutan dan kehangatan bibir itu ketika dinding vaginanya berdenyut-denyut. Sambil agak menekuk kedua lututnya, dihentakkannya pinggulnya agar lidah dan bibir lelaki itu masuk lebih dalam ke lubang vaginanya. Ia seolah mendapat sinyal ketika merasakan remasan di bongkah pantatnya, sinyal yang menyatakan bahwa lelaki itu menyukai hentakan pinggulnya. Tanpa ragu, ia kembali menghentakkan pinggulnya sambil menekan bagian belakang kepala lelaki itu. Dilakukannya berulang kali, seolah ingin menunjukkan bahwa vaginanya ingin menelan lidah dan mulut lelaki itu.

"Theoo.., aarrgghh..," rintihnya sambil menekan dahi lelaki itu dengan ujung jarinya. Tekanan itu menyebabkan wajah Theo terdongak hingga mulutnya persis berada di bawah vaginanya.
"Mimik 'pipis' Debby, Sayaang," rintihnya sambil menghentak-hentakkan pinggulnya dengan cepat.


Sekujur tubuhnya menggigil merasakan nikmatnya lidah yang tertanam di lubang vaginanya, lidah yang dapat ia perlakukan sesuka hatinya. Seolah ada 'penis' kecil tertanam di lubang kemaluannya. Ia menggigil merasakan sensasi nikmat yang luar biasa dalam terpaan dinginnya angin malam yang berembun. Bulu-bulu roma di sekujur tubuhnya merinding ketika merasakan lahapnya lidah dan mulut lelaki itu menghisap-hisap, menanti lendir orgasme yang akan tumpah dari vaginanya.

"Aarrgghh.., hasshh.., hasshh.., aarrgghh, aarrgghh, aarrgghh..!" rintihnya berkepanjangan ketika 'menumpahkan' orgasmenya.

Ia masih merintih-rintih bekepanjangan ketika merasakan liarnya lidah lelaki itu menjentik-jentik bibir dalam vaginanya. Lidah itu masih rajin bergerak seolah belum terpuaskan dengan segumpal lendir yang telah mengalir dari lubang vaginanya.

Theo masih menjilat-jilat. Sesekali mengulum bibir luar vagina gadis yang masih terengah-engah itu. Ia pun merasakan nikmat yang luar biasa ketika merasakan lendir orgasme gadis remaja itu mengalir ke kerongkongannya. Mungkin karena dinginnya terpaan angin, lendir orgasme yang ditelannya terasa lebih hangat dari biasanya. Paha yang menekan pipinya pun terasa lebih hangat. Dan.., hentakan-hentakan pinggul itu lebih liar dari biasanya!

"Ooh Theo, nikmatnya!" desah Debby sambil menatap bola mata lelaki yang masih dijepitnya di pangkal pahanya. Jari-jari tangannya mengusap-usap dahi dan rambut lelaki itu. Dibelai-belainya dengan mesra. Bibirnya tersenyum bahagia.
"Sekarang kita ke kamar yuk!" sambungnya sambil mengangkat pahanya dari pundak lelaki itu.

Di atas 'king size bed' tergeletak tubuh telanjang seorang gadis belia. Tubuh itu tergeletak dengan pose yang sangat menantang. Satu kaki terbujur lurus di atas kasur, dan yang sebelah lagi menekuk setengah terbuka mengangkang. Dan bibir gadis itu tersenyum manis. Merekah. Di cermin besar di dinding, bayangan tubuh indah itu terpantul seutuhnya. Seolah ada dua gadis belia yang sedang telanjang atas tempat tidur. Theo menaiki tempat tidur dan menjatuhkan dadanya di antara kedua belah paha gadis belia itu. Lalu dengan gemas, diciumnya pusar gadis itu.
"Theoo, geli!"

Theo tersenyum sambil mengangkat kepalanya. Tapi tak lama kemudian diulang-ulangnya mencium hingga membuat gadis belia itu menggelinjang beberapa kali. Lalu ia merasakan dua buah lengan yang menarik dagu dan rambutnya. Dengan menggunakan kedua siku dan lututnya, ia merangkak hingga wajahnya terbenam di antara kedua buah dada gadis itu. Dikecupnya lekukan buah dada yang putih itu. Lidahnya sedikit menjulur ketika mengecup. Kecupan basah. Ia tak merasa puas bila lidahnya tak merasakan kehalusan kulit buah dada gadis belia itu.

Tak lama kemudian, lidahnya melata menjilat buah dada yang sebelah kanan. Diulangnya beberapa kali hingga buah dada itu mulai basah tersapu air liurnya. Ia berhenti sejenak untuk menatap keindahan puting di pucuk buah dada itu. Lalu tangannya kirinya bergerak mengusap bagian bawah buah dada itu, kemudian bergerak ke arah atas sambil meremas dengan lembut. Sesaat ia menahan nafas menikmati kekenyalan buah dada itu di telapak tangannya. Remasannya membuat puting itu terlihat semakin tinggi. Menggemaskan. Dan dengan cepat dikecupnya puting buah dada yang masih kecil itu. Dikulumnya sambil mengusap-usapkan tangan kanannya di punggung gadis itu.

"Kau murid yang cantik sekali," kata Theo sambil mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.

Debby tersenyum. Ia senang mendengar pujian itu. Dirangkulnya leher guru matematika yang disayanginya itu dengan tangan kirinya, kemudian diciumnya bibir lelaki itu dengan mesra. Dihisapnya lidah yang menyusup ke bibirnya. Dihisapnya sambil mengait-ngaitkan ujung lidahnya. Tak lama kemudian, tangannya kanannya bergerak ke arah pangkal paha lelaki itu. Setelah mengusap-usap beberapa kali, digenggamnya batang kemaluan lelaki itu. Lalu diarahkannya cendawan batang kemaluan itu ke celah di antara bibir vaginanya yang mulai berlendir.

"Ambil hadiahnya, Theo," bisik gadis itu sambil mengusap-usapkan cendawan itu ke bibir vaginanya.

Theo menarik nafas panjang merasakan kelembutan dan kehangatan di ujung batang kemaluannya. Untuk pertama kalinya lendir dari celah bibir vagina gadis belia itu mengolesi ujung cendawannya. Batang kemaluannya menjadi semakin keras. Urat-urat berwarna hijau di kulit batang kemaluannya semakin membengkak. Setelah menunjukkan kesabarannya selama sebulan, kesabaran mencumbui vagina gadis itu hanya dengan lidahnya, ternyata kesabarannya membuahkan hasil. Gadis itu akhirnya memberikan hadiah istimewa yang akan membawanya ke pintu surga dunia. Hadiah istimewa yang tak pernah diduganya akan diberikan oleh salah seorang muridnya.

Theo sedikit menekan pinggulnya agar cendawan itu terselip di bibir vagina yang berwarna pink itu. Ia menatap wajah gadis belia itu ketika merasakan pinggul yang ditindihnya menggeliat. Dengan tambahan tekanan yang lebih keras, cendawan batang kemaluannya akhirnya terselip. Ia menahan nafas ketika merasakan hangat dan sempitnya bibir vagina itu menjepit cendawan kemaluannya. Setelah sebulan bersabar, akhirnya vagina yang segar ini dapat kumiliki, katanya dalam hati. Lalu ia mulai menciumi leher gadis itu. Dadanya direndahkan hingga menekan kedua buah dada gadis itu. Ia sengaja melakukan hal itu karena ingin merasakan kekenyalan buah dada itu ketika menggeliat. Ia yakin gadis itu akan mengeliat-geliat ketika ia mendorong batang kemaluannya lebih dalam.

"Ohh.., Theo." Theo menciumi telinga gadis itu.
"Belit pinggangku dengan kakimu, Sayang," bisiknya di sela-sela ciumannya.

Tangan kirinya meremas buah dada gadis itu, sedangkan tangan kanannya mengelus-elus paha luar yang baru membelit pinggangnya. Lalu ia mendorong batang kemaluannya lebih dalam. Sesak! Perlahan-lahan ia menarik sedikit batang kemaluannya, kemudian mendorongnya. Hal itu dilakukannya beberapa kali hingga ia merasakan cairan lendir yang semakin banyak mengolesi cendawan kemaluannya.

Sambil menghembuskan nafas berat, didorongnya batang kemaluannya lebih dalam hingga ujung cendawannya menyentuh sesuatu. Ia menahan gerakan pinggulnya ketika melihat gadis belia itu meringis. Ia tak ingin menyakiti murid yang sangat disayanginya itu. Selain itu, tubuhnya sendiri pun bergetar merasakan sempitnya lubang vagina itu. Dadanya berdebar-debar ketika ia membiarkan ujung kemaluannya bersentuhan dengan selaput tipis yang sebentar lagi akan dirobeknya.

"Sakit, Theo!"
"Tahan sedikit ya, Sayang."

Theo kembali menarik batang kemaluannya hingga hanya ujung cendawan kemaluannya yang terselip di bibir luar vagina sang gadis. Lalu didorongnya kembali perlahan-lahan. Diulangnya beberapa kali. Ia diam sejenak mengamati raut wajah yang cantik itu ketika ujung kemaluannya kembali menyentuh selaput tipis itu. Mata gadis itu setengah terpejam, tetapi bibirnya sudah tidak meringis.

"Debby, nanti dorong pinggulnya, ya," katanya sambil menarik kembali batang kemaluannya.

Lalu diciumnya bibir gadis itu dengan lahap. Ia tak ingin mendengar gadis itu menjerit ketika ia mendorong kembali batang kemaluannya. puting buah dada gadis itu diremasnya dengan jempol dan jari telunjuknya. Dan ketika merasakan gadis itu mendorong pinggulnya, dengan cepat didorongnya pula batang kemaluannya.

"Hmm.., hhmm..!" gumam gadis itu sambil mengisap lidah Theo sekeras-kerasnya.

Ia hanya dapat bergumam ketika merasakan batang kemaluan Theo menghunjam ke dalam lubang vaginanya. Sekejap, tiba-tiba ia merasakan nyeri ketika batang kemaluan itu menembus selaput di lubang vaginanya. Ia menggeliat-geliat berusaha untuk melepaskan diri. Tapi semakin ia menggeliat, batang kemaluan itu masuk semakin dalam. Akhirnya ia pasrah, diam tak bergerak!

Theo menahan gerakan pinggulnya. Ia telah mendapatkan hadiah yang dijanjikan gadis itu. Tapi ia tidak ingin egois. Ia tidak ingin melihat gadis belia itu meringis kesakitan ketika memberikan hadiahnya. Ia akan membuat gadis itu bahagia dan turut menikmati memberiannya. Oleh karena itu, ia menghentikan gerakan pinggulnya. Sesaat, ia hanya membelai-belai rambut di dahi gadis itu. Lalu mengecup keningnya dengan mesra. Tak lama kemudian, bibir gadis itu dikecupnya dengan lembut. Dikulumnya dengan penuh perasaan. Ia baru menarik batang kemaluannya perlahan-lahan setelah merasakan lidah gadis itu menyusup ke dalam mulutnya.

Setelah menyadari tak ada perubahan di raut wajah gadis itu, Theo kembali membenamkan batang kemaluannya perlahan-lahan. Kali ini ia hanya mendengar gadis itu mendesis beberapa kali sambil merangkul lehernya erat-erat. Ia pun merasakan dua buah kaki yang semakin erat membelit pinggangnya. Ia masih tetap mendengar gadis itu mendesis ketika menarik batang kemaluannya.

Setelah menarik nafas panjang, dan tak sanggup lagi menahan kesabarannya, ia menghentakkan pinggulnya sedalam-dalamnya hingga pangkal pahanya bersentuhan dengan pangkal paha gadis itu. Ia mendesah beberapa kali ketika merasakan seluruh batang kemaluannya terbenam ke dalam vagina gadis itu. Bahkan ia merasakan ujung kemaluannya menyentuh mulut rahim gadis belia itu. Sejenak ia diam tak bergerak. Ia sengaja membiarkan batang kemaluannya menikmati sempitnya lubang vagina itu. Ia terpejam merasakan remasan lembut di batang kemaluannya ketika vagina itu berdenyut.

"Aarrgghh.., ooh, ohh..," rintih debby ketika seluruh batang kemaluan lelaki yang disayanginya itu telah terbenam ke dalam lubang vaginanya.

Ia merasakan pedih dan nikmat di sekujur tubuhnya. Rasa yang membuat bulu-bulu roma di sekujur tubuhnya meremang, yang membuat ia terpaksa melengkungkan punggungnya. 
Kuku-kuku jari tangannya menancap di punggung lelaki itu ketika ia merasakan biji kemaluan Theo memukul lubang duburnya. Ia semakin melengkungkan punggungnya menjauhi kasur ketika lelaki itu menarik batang kemaluannya. Ia tak mampu bernafas ketika merasakan nikmatnya saat bibir dalam vaginanya tertarik bersama batang kemaluan itu.

Tak ada lagi pedih yang tersisa. Hanya ada nikmat yang menjalar dari vaginanya, nikmat yang membuat punggungnya terhempas ke atas kasur ketika lelaki itu kembali menghunjamkan batang kemaluannya. Ia menggigit bibirnya meresapi kenikmatan yang mengalir dari klitorisnya. Klitoris yang tergesek ketika gurunya yang jantan itu menghunjamkan batang kemaluannya. Kenikmatan itu membuat ia terengah-engah karena hanya mendapatkan sedikit udara setiap kali ia menarik nafas.

Theo mendesah setiap kali mendorong batang kemaluannya. Seumur hidupnya, Ia tak pernah merasakan ada vagina yang menjepit batang kemaluannya sekeras itu. Vagina sempit yang membuat telapak tangannya harus menekan kasur sekeras-kerasnya ketika ia menarik batang kemaluannya. Akhirnya ia tertelungkup di dada gadis itu. Tangannya menyusup ke balik punggung dan menggenggam kedua bahu gadis itu. Ia terpaksa hanya mengandalkan lututnya untuk menekan kasur agar ia tetap dapat mengangkat dan mendorong pinggulnya. Ia hampir tak mampu membendung air maninya lebih lama lagi. Dipandangnya pangkal pahanya. Air mani di kantung biji kemaluannya terasa semakin meronta-ronta ketika ia melihat bibir luar vagina mungil itu ikut terbenam setiap kali ia mendorong batang kemaluannya.

"Aarrgghh.., Debbyy..!" desah Theo.

Nafasnya mendengus-dengus. Kelopak matanya terbeliak-beliak. Telinganya mendengar bunyi "plak" setiap kali ia menghunjamkan batang kemaluannya. Bunyi yang sangat mesra itu terdengar setiap kali pangkal pahanya beradu dengan pangkal paha gadis belia itu. Bunyi itu semakin keras terdengar setiap kali gadis itu mengangkat pinggulnya untuk menyongsong batang kemaluannya yang menghunjam.

"Aarrgghh.., Debby, aaku.. Aaku.."
"Theoo.., aarrgghh..!"

Theo tak mampu lagi mengendalikan air mani yang meronta-ronta. Tekanan air mani di kantung biji kemaluannya terasa sangat kuat. Ia masih mencoba bertahan. Tapi semakin lama vagina yang menelan kemaluannya terasa meremas semakin kuat. Remasan yang berdenyut-denyut, seolah ingin menghisap air mani yang tertahan di batang kemaluannya.

"Aarrgghh.., aarrgghh.., aku pipiiss..," raung Theo ketika merasakan air maninya menerobos lubang saluran kemaluannya.

Ia menghunjamkan pinggulnya sekeras-kerasnya agar ujung cendawannya tertanam sedalam-dalamnya ketika air maninya menerobos ke luar dari kantung biji kemaluannya. Ia mencengkeram kedua bahu gadis itu dengan erat saat ia pun merasakan gigitan manja di bahu kanannya..

"Theoo, aarrgghh.., aarrgghh.., Debby pipiiss jugaa..!" rintih gadis belia itu ketika merasakan air mani yang sangat panas 'menembak' mulut rahimnya!

Akhirnya setelah sang gadis mempersembahkan hadiah istimewanya untuk sang kekasih, mereka tidur berpelukan.